AI dan Hak Cipta: Siapa yang Punya Karya Buatan AI?

Di era kecerdasan buatan (AI) yang semakin canggih, muncul pertanyaan pelik dalam dunia hukum dan kreativitas: siapa yang sebenarnya memiliki hak atas karya yang dihasilkan oleh AI? Apakah manusia penciptanya, pengembang teknologinya, atau tidak ada yang punya hak sama sekali?

EDUKASIAITEKNOLOGI

6/27/20253 min read

AI dan Hak Cipta: Siapa yang Punya Karya Buatan AI? | NuntiaNews
AI dan Hak Cipta: Siapa yang Punya Karya Buatan AI? | NuntiaNews

Dalam beberapa tahun terakhir, AI telah menunjukkan kemampuan luar biasa dalam menghasilkan konten kreatif: mulai dari lukisan, puisi, musik, desain produk, hingga artikel dan kode program. Beberapa platform populer seperti Midjourney, DALL·E, dan ChatGPT telah membuka akses bagi siapa pun untuk menciptakan karya artistik dengan bantuan AI.

Namun, semakin banyak karya yang dibuat oleh AI, semakin kabur pula batas-batas hukum hak cipta yang selama ini hanya mengenal pencipta sebagai manusia. Dunia hukum, yang selama berabad-abad berlandaskan pada prinsip bahwa ciptaan adalah buah karya manusia, kini dihadapkan pada realitas bahwa "mesin" bisa menghasilkan karya-karya kompleks dan orisinal.

Pertanyaannya pun muncul: jika sebuah lukisan dibuat oleh AI berdasarkan prompt sederhana dari pengguna, siapa yang berhak atas hasil akhirnya? Pengguna? Pengembang AI? Atau tidak ada yang memiliki hak?

Apa Kata Hukum?

Hukum hak cipta berbeda-beda di setiap negara, tetapi hampir semuanya masih berpijak pada prinsip "human authorship"—karya yang dapat diberi hak cipta adalah karya yang diciptakan oleh manusia.

Amerika Serikat

Pada Februari 2023, Kantor Hak Cipta Amerika Serikat (U.S. Copyright Office) menolak permohonan hak cipta atas sebuah komik berjudul Zarya of the Dawn karena sebagian besar ilustrasinya dibuat oleh AI Midjourney. Pihak kantor menyatakan bahwa “elemen yang dihasilkan oleh AI tidak memiliki hak cipta karena tidak melibatkan kreativitas manusia.”

Lebih jauh, dalam pedoman terbarunya, U.S. Copyright Office menyatakan bahwa hanya karya yang dihasilkan melalui “intervensi kreatif substansial manusia” yang bisa dilindungi hak cipta. Dengan kata lain, jika AI hanya menjadi alat bantu, dan manusia memiliki kendali kreatif, maka hak cipta masih bisa dimiliki.

Uni Eropa dan Inggris

Uni Eropa sedang mengembangkan kerangka hukum yang lebih luas melalui AI Act. Sementara itu, Inggris sudah menyatakan bahwa karya yang dihasilkan oleh komputer (termasuk AI) bisa diberikan hak cipta, tetapi hak tersebut jatuh kepada “orang yang mengatur pembuatan karya.” Meski begitu, banyak praktisi hukum menilai aturan ini masih terlalu kabur dalam konteks AI generatif modern.

China dan Asia

China menjadi salah satu negara pertama yang memberikan perlindungan terhadap gambar AI dalam kasus tahun 2023, ketika sebuah gambar yang dihasilkan AI oleh pengguna platform dijatuhi vonis sebagai karya yang memiliki nilai orisinalitas dan layak dilindungi. Ini menandakan bahwa hukum di Asia mulai bergerak lebih fleksibel, meskipun juga memicu kontroversi.

Siapa yang Pantas Memiliki Karya AI?

Pertanyaan kepemilikan ini tidak hanya soal hukum, tapi juga soal etika dan filosofi.

  1. Pengguna
    Banyak orang menganggap bahwa pengguna yang memberikan prompt dan arahan kepada AI seharusnya memiliki hak atas hasilnya, karena mereka bertindak seperti seorang "sutradara" yang mengarahkan alat.

  2. Pengembang AI
    Argumen lainnya menyebut bahwa pengembang sistem AI memiliki peran besar, karena model AI bisa menghasilkan karya hanya karena dilatih dengan data dan algoritma yang mereka kembangkan.

  3. Tidak Ada yang Memiliki
    Sebagian pihak, termasuk beberapa akademisi hukum, berpendapat bahwa karya AI tidak seharusnya mendapat hak cipta sama sekali, karena tidak ada "jiwa manusia" di balik proses kreatifnya. Ini menimbulkan kemungkinan bahwa karya-karya AI harus menjadi domain publik.

Dampak terhadap Industri Kreatif

Jika karya AI tidak bisa dilindungi oleh hak cipta, implikasinya bisa besar:

  • Pelaku industri kreatif akan mengalami persaingan berat dari karya AI gratis atau murah.

  • Brand dan bisnis menjadi rentan jika karya yang mereka buat dengan AI tidak memiliki perlindungan hukum.

  • Seniman manusia bisa merasa tersaingi atau bahkan tergantikan, karena karya AI bisa dibuat dalam hitungan detik.

Namun di sisi lain, AI juga membuka peluang baru untuk kolaborasi kreatif lintas teknologi dan manusia. Banyak seniman yang memanfaatkan AI sebagai “rekan kerja” dalam proses kreatif, bukan sebagai pengganti.

Solusi dan Jalan Tengah

Berbagai usulan dan eksperimen hukum mulai muncul untuk mencari titik temu antara kreativitas dan teknologi:

  • Label khusus untuk karya AI — seperti watermark atau metadata yang menunjukkan asal-usul karya tersebut.

  • Lisensi terbuka atau terbatas — di mana pengguna bisa mengatur hak penggunaan karya AI secara fleksibel.

  • Hak cipta bersama — sebuah konsep baru di mana manusia dan AI dipandang sebagai kolaborator, meskipun ini masih sulit diwujudkan secara hukum.

Penting juga adanya literasi digital dan hukum yang lebih kuat di kalangan masyarakat. Pengguna AI harus memahami batasan hukum dan etika, terutama jika menggunakan karya AI untuk komersial atau publikasi.

Kesimpulan: Masa Depan Hak Cipta di Era AI

Karya buatan AI telah membuka dunia baru yang menarik dan menantang bagi dunia hukum, seni, dan bisnis. Namun hingga saat ini, hukum hak cipta belum sepenuhnya siap menyambut kehadiran “seniman non-manusia.”

Apakah AI akan diberi status hukum tertentu? Apakah pengguna akan mendapatkan hak cipta jika memberi arahan kreatif kepada AI? Atau kita harus menerima kenyataan bahwa sebagian besar karya AI tidak bisa dimiliki?

Yang pasti, diskusi soal AI dan hak cipta baru saja dimulai. Dan jawaban akhirnya tidak hanya bergantung pada pengacara atau hakim, tapi juga pada masyarakat luas—terutama mereka yang menggunakan, menciptakan, dan menikmati karya dari era kecerdasan buatan.

Berita Lainnya