Bank Dunia Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Global, Ketegangan Dagang Jadi Pemicu

Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2025 menjadi 2,3%. Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China, serta tekanan tarif global, menjadi faktor utama yang memicu revisi ini.

MAKRO EKONOMIBANK

6/11/20253 min read

Bank Dunia Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Global, Ketegangan Dagang Jadi Pemicu | NuntiaNews
Bank Dunia Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Global, Ketegangan Dagang Jadi Pemicu | NuntiaNews

Dunia kembali dihadapkan pada tantangan besar dalam menjaga stabilitas ekonomi global. Dalam laporan terbarunya yang dirilis hari ini, World Bank (Bank Dunia) secara resmi memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2025 menjadi 2,3%, turun dari estimasi sebelumnya sebesar 2,7%.

Revisi ini bukan tanpa alasan. Di tengah konflik perdagangan yang kian memburuk, terutama antara Amerika Serikat dan China, serta semakin banyaknya negara yang memperketat kebijakan proteksionisnya, pelambatan ekonomi tampak sulit terhindarkan.

“Perekonomian global tengah berjuang menavigasi badai kebijakan tarif, ketidakpastian geopolitik, dan perlambatan perdagangan internasional,” ujar Indermit Gill, Kepala Ekonom Bank Dunia, dalam konferensi pers virtual dari Washington, D.C.

Ketegangan Perdagangan: Akar Masalah

Pusat dari kegelisahan pasar global saat ini adalah memburuknya hubungan perdagangan antara dua raksasa ekonomi dunia: Amerika Serikat dan China. Pemerintahan Presiden AS kembali memberlakukan tarif tambahan terhadap berbagai produk dari China, termasuk barang elektronik, logam berat, dan kendaraan listrik. Sebagai balasan, China mengenakan bea masuk terhadap produk pertanian dan teknologi asal AS.

Kebijakan tarif ini menciptakan efek domino yang mengguncang rantai pasokan global, menaikkan biaya produksi, dan memperlambat perdagangan internasional. Beberapa analis bahkan memperkirakan dunia memasuki "era baru proteksionisme" yang mengancam liberalisasi ekonomi yang telah dibangun selama puluhan tahun.

Tekanan Inflasi Masih Membayangi

Tak hanya perlambatan pertumbuhan, inflasi global juga menjadi sorotan. Bank Dunia memperkirakan inflasi akan tetap tinggi di kisaran 2,9%, didorong oleh naiknya harga pangan, energi, dan biaya transportasi.

Negara-negara berkembang menjadi pihak yang paling rentan dalam kondisi ini. Dengan mata uang yang cenderung melemah terhadap dolar AS, beban impor makin berat. Sementara itu, suku bunga global yang tinggi—terutama dari kebijakan moneter The Fed dan European Central Bank (ECB)—memperbesar risiko krisis utang dan arus modal keluar.

“Ketidakpastian ini berdampak sangat besar bagi negara berkembang, di mana banyak investor memilih untuk menarik dana dan menaruhnya di aset safe haven seperti obligasi AS atau emas,” ujar Maria Gonzalez, analis ekonomi dari JP Morgan Chase.

Investasi Global Mulai Berubah Arah

Menariknya, Bank Dunia juga mencatat adanya tren pergeseran arah investasi. Jika sebelumnya banyak modal mengalir ke negara berkembang demi mencari keuntungan besar, kini investor lebih berhati-hati. Mereka cenderung mengalihkan dana ke sektor domestik seperti infrastruktur hijau, digitalisasi, dan industri strategis nasional.

Negara-negara seperti Jerman, Jepang, dan Inggris mulai memperkuat kembali basis industri lokalnya melalui paket insentif fiskal. Bahkan, China juga mempercepat program substitusi impor dan pengembangan teknologi domestik sebagai langkah antisipatif atas tekanan tarif.

Respons Pemerintah Dunia: Antara Strategi dan Risiko

Berbagai pemerintah pun mulai melakukan penyesuaian. Amerika Serikat fokus pada penciptaan lapangan kerja dan reindustrialisasi, sementara Eropa menyiapkan paket stimulus hijau dan subsidi energi terbarukan. Di sisi lain, negara berkembang yang sangat bergantung pada perdagangan global terpaksa menyesuaikan anggaran, menunda proyek besar, atau bahkan meningkatkan utang luar negeri.

“Kondisi saat ini adalah ujian nyata bagi tata kelola ekonomi nasional. Hanya negara yang mampu menyeimbangkan antara keberlanjutan fiskal dan ketahanan sosial yang akan bertahan,” kata Dr. Riko Hwang, ekonom dari National University of Singapore.

Pasar Keuangan Mulai Goyah

Ketidakpastian makroekonomi juga mulai tercermin di pasar keuangan. Bursa saham global mengalami fluktuasi tajam dalam beberapa pekan terakhir. Di Wall Street, indeks Dow Jones dan Nasdaq sempat terkoreksi, meskipun masih menunjukkan tren naik dalam jangka menengah. Sementara itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami tekanan ringan karena aksi jual investor asing.

Harga komoditas seperti minyak mentah, gandum, dan tembaga juga ikut volatil, seiring kekhawatiran akan menurunnya permintaan global. Investor pun mulai melirik aset lindung nilai seperti emas, yang kembali menembus level Rp1,2 juta per gram.

Proyeksi Ke Depan: Ancaman atau Peluang?

Meskipun outlook ekonomi 2025 tampak suram, bukan berarti tidak ada peluang. Dalam laporan yang sama, Bank Dunia mendorong agar negara-negara mempercepat transformasi ekonomi melalui investasi teknologi, pendidikan, dan infrastruktur berkelanjutan.

“Justru di saat penuh tekanan seperti ini, kita harus melakukan reformasi struktural agar siap menyambut era baru globalisasi yang lebih resilien dan inklusif,” tulis laporan tersebut.

Kesimpulan

Pemangkasan proyeksi pertumbuhan global oleh Bank Dunia adalah sinyal kuat bahwa dunia sedang bergerak dalam arah yang menantang. Ketegangan dagang, inflasi tinggi, dan perubahan arah investasi global adalah faktor utama yang akan menentukan masa depan ekonomi dunia.

Dalam kondisi ini, negara yang mampu beradaptasi dengan cepat, menjaga kepercayaan pasar, dan memperkuat fondasi domestik, akan menjadi pemenang di tengah ketidakpastian global.

Berita Lainnya