BMKG Revisi Musim Kemarau, Petani Harus Bersiap Hadapi Perubahan Iklim

BMKG memperbarui prediksi musim kemarau tahun 2025 dengan proyeksi yang lebih pendek dari biasanya. Meskipun membawa harapan bagi produksi pangan, para petani diimbau tetap waspada terhadap potensi anomali iklim dan strategi tanam ulang.

MAKRO EKONOMI

6/23/20252 min read

BMKG Revisi Musim Kemarau, Petani Harus Bersiap Hadapi Perubahan Iklim | NuntiaNews
BMKG Revisi Musim Kemarau, Petani Harus Bersiap Hadapi Perubahan Iklim | NuntiaNews

Jakarta, 23 Juni 2025 — Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengumumkan revisi penting terhadap proyeksi musim kemarau nasional tahun 2025. Dalam laporan resminya, BMKG menyebutkan bahwa musim kemarau diperkirakan akan lebih pendek dan lebih basah dibandingkan rata-rata tahun sebelumnya. Perubahan ini berdampak langsung terhadap pola tanam petani serta strategi pemerintah dalam menjaga ketahanan pangan nasional.

“Hingga awal Juni 2025, baru sekitar 19% wilayah Indonesia yang masuk kategori musim kemarau, terutama di sebagian Sumatra dan Kalimantan,” ujar Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dalam konferensi pers di Jakarta.

🌧️ Kemarau Lebih Pendek, Hujan Masih Mendominasi

Revisi ini didasarkan pada pengamatan terkini terhadap parameter curah hujan, tekanan atmosfer, serta fenomena La Nina lemah yang masih mempengaruhi dinamika cuaca Indonesia. Alih-alih memasuki kemarau kering seperti biasa, banyak wilayah justru masih mengalami hujan intensitas ringan hingga sedang hingga akhir Juni.

BMKG memperkirakan bahwa kemarau tahun ini akan berlangsung mulai Juli hingga pertengahan Oktober, dan hanya terjadi secara signifikan di wilayah Nusa Tenggara, sebagian Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan.

🌱 Dampak ke Sektor Pertanian: Optimisme dan Tantangan

Sektor pertanian menjadi garda terdepan yang terdampak langsung oleh perubahan iklim ini. Dengan curah hujan yang masih turun di banyak wilayah, produksi beras nasional pada semester I 2025 diprediksi mencapai 21,76 juta ton, mendekati target tahunan sebesar 32 juta ton.

Menteri Pertanian menyambut positif proyeksi ini. “Ketersediaan air menjelang puncak musim tanam sangat membantu. Namun, petani tetap harus berhati-hati terhadap potensi cuaca ekstrem lokal seperti banjir bandang atau longsor kecil,” kata Amran Sulaiman, Menteri Pertanian RI.

Kementerian Pertanian juga telah meminta dinas-dinas pertanian di daerah untuk:

  • Mengoptimalkan early warning system berbasis prakiraan cuaca lokal;

  • Memberikan edukasi teknis soal rotasi tanaman yang tahan kelembapan;

  • Mendorong penanaman varietas padi adaptif terhadap perubahan iklim.

💰 Ekonomi Mikro: Efek pada Harga Pangan dan Konsumen

Lebih lanjut, perubahan ini berimplikasi pada makroekonomi nasional. Jika panen lancar, harga bahan pokok—terutama beras—dapat tetap stabil atau menurun, yang berarti inflasi pangan bisa ditekan.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, menyatakan bahwa kondisi ini memberikan ruang bagi Bank Indonesia untuk mempertahankan atau bahkan menurunkan suku bunga, karena inflasi pangan sebagai komponen utama inflasi umum bisa lebih terkendali.

🛠️ Langkah Strategis Pemerintah dan BI

Pemerintah pusat bersama pemerintah daerah tengah merancang stimulus irigasi darurat untuk wilayah rawan kekeringan, jika kemarau tiba-tiba menguat di kuartal ketiga. Selain itu:

  • Kementerian Keuangan mempertimbangkan insentif bagi petani untuk mengakses pupuk bersubsidi lebih cepat;

  • Bank Indonesia bersiap melonggarkan likuiditas sektor pertanian melalui kebijakan makroprudensial.

🌍 Iklim Global dan Tantangan Masa Depan

Perubahan proyeksi musim kemarau ini menegaskan semakin pentingnya integrasi antara iklim, pangan, dan kebijakan ekonomi. BMKG juga menegaskan bahwa fenomena cuaca ekstrem semakin tidak bisa diprediksi secara konvensional. Oleh karena itu, investasi dalam teknologi pemantauan cuaca, digitalisasi pertanian, dan sistem irigasi pintar menjadi semakin mendesak.

🧩 Kesimpulan: Waspada Tapi Tetap Optimis

Perubahan iklim dan pola cuaca menjadi kenyataan yang tak terhindarkan. Namun, dengan kesiapan teknologi, peran aktif pemerintah, dan edukasi kepada petani, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjaga ketahanan pangan dan stabilitas harga.

Petani Indonesia bukan hanya dituntut untuk menanam, tetapi juga untuk membaca langit, mengikuti dinamika iklim, dan beradaptasi dengan teknologi modern. Di tengah tantangan global, ketahanan pangan adalah fondasi utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Berita Lainnya