G7 Sepakati Pernyataan Bersama tentang AI dan Teknologi Kritis

Dalam KTT G7 2025 di Italia, negara-negara anggota sepakat mengeluarkan pernyataan bersama mengenai regulasi kecerdasan buatan (AI), teknologi kritis, dan keamanan digital. Mereka menyoroti pentingnya kerja sama lintas negara demi memastikan perkembangan teknologi yang etis, aman, dan tidak dimonopoli oleh kekuatan tertentu.

AITEKNOLOGI

6/17/20252 min read

G7 Sepakati Pernyataan Bersama tentang AI dan Teknologi Kritis | NuntiaNews
G7 Sepakati Pernyataan Bersama tentang AI dan Teknologi Kritis | NuntiaNews

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 2025 yang digelar di kawasan pesisir indah Italia menghasilkan keputusan besar terkait teknologi. Negara-negara anggota G7 — yang terdiri dari Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jerman, Prancis, Italia, dan Jepang — akhirnya mencapai kesepakatan pernyataan bersama mengenai kecerdasan buatan (AI), teknologi kritis, dan keamanan siber.

Pernyataan ini mencerminkan keprihatinan dan harapan global terhadap laju perkembangan teknologi yang kian cepat, serta munculnya risiko geopolitik, etika, dan ketergantungan digital di tengah persaingan global antara Barat dan China.

AI dan Ketahanan Demokrasi

Dalam dokumen resmi yang dirilis pasca pertemuan, G7 menekankan bahwa pengembangan AI harus dilakukan dengan prinsip transparansi, keadilan, dan akuntabilitas. Mereka menolak pendekatan otoriter dan tertutup yang berisiko memanipulasi informasi, melanggar privasi warga, serta mengancam integritas demokrasi.

Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menyebut AI sebagai “pedang bermata dua.” Menurutnya, jika tidak dikendalikan dengan etika dan nilai-nilai universal, AI dapat memperburuk ketimpangan, memperkuat disinformasi, dan menimbulkan instabilitas sosial.

“Tujuan kita bukan menghentikan inovasi, tapi memastikan inovasi tetap melayani kemanusiaan,” tegasnya.

Mekanisme Regulasi Bersama

G7 juga bersepakat untuk memperkuat koordinasi regulasi AI melalui platform multilateral seperti OECD dan Global Partnership on AI (GPAI). Mereka menyerukan penguatan standar global dalam hal keamanan model AI, keterbukaan data, serta tanggung jawab platform teknologi.

Gagasan ini mendapat dukungan penuh dari Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni, yang menjadi tuan rumah KTT. Ia mengusulkan pembentukan Pusat Koordinasi Teknologi G7, sebuah lembaga think-tank bersama untuk menyusun rekomendasi kebijakan lintas negara.

Meloni menekankan bahwa perlombaan teknologi tidak boleh meninggalkan negara berkembang. “Teknologi kritis harus dapat diakses secara adil dan tidak menciptakan kolonialisme digital baru,” ucapnya.

China dan Kedaulatan Digital

Meski tidak secara eksplisit menyebut China dalam pernyataan akhir, nuansa kekhawatiran terhadap dominasi teknologi China terlihat jelas. G7 menyerukan diversifikasi rantai pasok teknologi kritis, seperti semikonduktor dan baterai, serta peningkatan ketahanan digital nasional terhadap risiko siber dan kontrol asing.

Presiden AS Joe Biden menekankan pentingnya kerja sama antarnegara dalam membangun ekosistem digital yang aman dan terbuka, serta mengurangi ketergantungan pada satu sumber teknologi saja.

Sementara itu, Jepang dan Jerman menyuarakan perlunya mempercepat pengembangan infrastruktur AI nasional sebagai bagian dari “AI yang berdaulat” (sovereign AI), yaitu AI yang dikembangkan dan dikendalikan secara domestik, bukan dari pusat teknologi global seperti Silicon Valley.

Komitmen Terhadap Teknologi Hijau dan Inklusif

Selain AI, G7 juga menyatakan komitmen terhadap pengembangan teknologi hijau dan inklusif. Mereka mendorong penggunaan AI untuk mendukung transisi energi, ketahanan pangan, serta pelestarian lingkungan. Teknologi tidak hanya harus pintar, tetapi juga ramah terhadap planet.

Dalam sektor ekonomi, G7 membuka peluang investasi bersama senilai lebih dari Rp7 triliun untuk mendukung riset dan pengembangan AI terbuka, cloud komputasi berskala besar, dan pelatihan SDM digital.

Reaksi Dunia dan Masa Depan

Kesepakatan ini langsung disambut oleh komunitas internasional, terutama di kawasan Eropa dan Asia Tenggara, yang selama ini mencari keseimbangan antara inovasi dan perlindungan kedaulatan digital.

Namun, beberapa pengamat menilai bahwa implementasi kebijakan ini bisa menjadi tantangan, terutama karena tiap negara G7 memiliki pendekatan dan regulasi AI yang berbeda. Amerika Serikat, misalnya, lebih menekankan pada pendekatan pasar, sementara Uni Eropa mengutamakan regulasi ketat lewat EU AI Act.

Babak Baru untuk Tata Kelola AI Global

Pernyataan bersama G7 ini menjadi sinyal kuat bahwa teknologi, khususnya kecerdasan buatan, telah resmi masuk dalam arus utama politik global. Ini bukan lagi hanya soal inovasi teknis, tapi tentang siapa yang mengontrol masa depan, bagaimana teknologi dibagikan, dan siapa yang dilindungi dalam prosesnya.

Dengan menyatukan suara dalam tata kelola AI dan teknologi kritis, G7 berharap dapat menjadi penyeimbang terhadap hegemoni teknologi yang tidak transparan, serta mendorong munculnya ekosistem digital global yang etis, terbuka, dan aman.

Jika dijalankan secara konsisten, kesepakatan ini bisa menjadi fondasi untuk tata dunia digital yang lebih adil dan berkelanjutan — dengan AI sebagai alat peradaban, bukan ancaman.

Berita Lainnya