Gejolak Global: Serangan Israel ke Iran & Unjuk Rasa di AS Guncang Pasar Dunia

Pasar global bergejolak hebat setelah Israel meluncurkan serangan ke Iran, memicu kenaikan tajam harga minyak dan ketegangan geopolitik. Di saat yang sama, Amerika Serikat dilanda unjuk rasa besar dan kekacauan politik menjelang pemilu, memperparah ketidakpastian ekonomi dunia. Investor pun lari ke aset safe-haven sementara indeks saham global jatuh dan nilai tukar rupiah ikut tertekan.

MAKRO EKONOMIPASAR

6/15/20253 min read

Gejolak Global: Serangan Israel ke Iran & Unjuk Rasa di AS Guncang Pasar Dunia | NuntiaNews
Gejolak Global: Serangan Israel ke Iran & Unjuk Rasa di AS Guncang Pasar Dunia | NuntiaNews

Serangan udara besar-besaran Israel terhadap fasilitas nuklir Iran pada hari Jumat malam menjadi pemicu gejolak pasar global yang luar biasa. Konflik geopolitik tersebut memicu respons keras dari Teheran, yang melancarkan serangan balasan ke kota-kota besar seperti Tel Aviv dan Haifa. Tak butuh waktu lama, kekacauan politik yang terjadi secara bersamaan di Amerika Serikat—diwarnai unjuk rasa masif dan penembakan seorang tokoh oposisi—semakin memperkeruh suasana.

Kombinasi konflik Timur Tengah dan ketegangan domestik AS menjadikan pekan ini salah satu pekan paling bergejolak dalam dunia ekonomi dan pasar global sepanjang tahun 2025.

Ketegangan Israel–Iran Meledak

Dalam serangan yang dilaporkan oleh berbagai sumber internasional, Israel menghantam tiga kompleks nuklir strategis di Iran menggunakan drone dan rudal jelajah. Pemerintah Israel menyatakan langkah ini sebagai “tindakan pre-emptive” menyusul laporan bahwa Iran sedang meningkatkan kapasitas pengayaan uranium.

Iran, tak tinggal diam, langsung meluncurkan balasan dengan rudal balistik ke wilayah Israel. Beberapa sumber menyebutkan terjadi kerusakan di sejumlah kawasan sipil dan ekonomi penting di Tel Aviv dan Haifa. Korban sipil mulai bermunculan, dan dunia internasional—termasuk PBB—menyerukan deeskalasi segera.

Akibat ketegangan ini, harga minyak melonjak drastis. Brent naik 10% menjadi $93 per barel dalam waktu kurang dari 24 jam. Investor global mulai mengantisipasi skenario "stagflasi": pertumbuhan ekonomi stagnan dengan inflasi tinggi akibat lonjakan harga energi.

Efek Geopolitik ke Pasar Global

Dampak dari konflik langsung terasa di pasar:

  • S&P 500 turun 1,14% hanya dalam satu sesi perdagangan.

  • FTSE 100 dan DAX Jerman terkoreksi lebih dari 1%.

  • Nilai tukar rupiah sempat melemah hingga Rp15.450/USD sebelum ditahan oleh intervensi Bank Indonesia.

  • Harga emas naik tajam ke $2.383 per ons, tertinggi dalam 12 bulan terakhir.

  • Bitcoin dan aset kripto sempat naik, namun cepat terkoreksi karena aksi ambil untung.

Pasar kini berada dalam mode risk-off—investor menjauhi saham dan aset berisiko, dan berpindah ke safe-haven seperti emas, dolar AS, dan obligasi pemerintah.

Unjuk Rasa dan Kekacauan Politik di Amerika Serikat

Di tengah gejolak Timur Tengah, Amerika Serikat malah terperangkap dalam krisis domestik sendiri. Ribuan orang turun ke jalan dalam unjuk rasa menentang kemungkinan pencalonan kembali mantan Presiden Donald Trump. Ketegangan meningkat setelah seorang tokoh politik sayap kiri dilaporkan ditembak oleh seseorang yang menyamar sebagai polisi federal.

Aksi protes di kota-kota besar seperti New York, Chicago, dan San Francisco berubah menjadi bentrokan dengan aparat keamanan. Gedung-gedung pemerintah dan kantor media menjadi sasaran perusakan. Gubernur di lima negara bagian telah memberlakukan jam malam.

Investor internasional melihat peristiwa ini sebagai "ketidakstabilan demokrasi" yang berisiko merusak citra ekonomi terbesar dunia. Hal ini menambah tekanan terhadap indeks saham AS dan nilai tukar dolar, yang anjlok ke titik terendah 2025 terhadap euro dan yen.

Bank Sentral Dunia Didesak Ambil Langkah

Di tengah kondisi yang semakin tidak menentu, bank sentral dunia—terutama Federal Reserve AS dan European Central Bank—berada dalam posisi sulit.

Federal Reserve sebelumnya diprediksi akan mulai menurunkan suku bunga pada kuartal ketiga. Namun kini, dengan harga energi naik dan tekanan biaya meningkat, pasar ragu apakah The Fed akan tetap pada rencananya.

Ketua The Fed, Jerome Powell, dalam pernyataan singkat mengatakan:

“Kami memantau kondisi global secara saksama. Fokus kami tetap pada stabilitas harga dan ketahanan ekonomi AS.”

Sementara itu, European Central Bank (ECB) juga menegaskan bahwa suku bunga akan tetap ditahan hingga dampak dari krisis global ini lebih jelas. Bank Indonesia pun memberi sinyal siap mempertahankan suku bunga BI Rate di level tinggi demi menjaga stabilitas rupiah.

Rupiah Tertekan, Indonesia Harus Siap Hadapi Dampak

Kondisi global ini memberi tekanan langsung ke Indonesia. Nilai tukar rupiah sempat melemah karena investor asing menarik dana dari pasar obligasi. Harga minyak yang tinggi juga meningkatkan kekhawatiran terhadap biaya subsidi energi dalam APBN.

Analis dari HSBC Indonesia menyebutkan:

“Jika harga minyak terus naik ke atas $100, defisit fiskal Indonesia bisa melebar akibat peningkatan subsidi bahan bakar dan pangan.”

Meski demikian, fundamental Indonesia dinilai cukup kuat: cadangan devisa berada di atas $140 miliar, neraca perdagangan masih surplus, dan konsumsi domestik tetap terjaga.

Arah Dunia di Titik Persimpangan

Krisis ganda—konflik Israel–Iran dan kekacauan politik AS—telah menempatkan ekonomi dunia di titik persimpangan.

  • Jika konflik berlanjut, dunia bisa masuk fase “shock inflation” atau bahkan stagflasi.

  • Jika ada mediasi internasional yang efektif, stabilisasi bisa terjadi dalam 2–3 pekan ke depan.

  • Pemilu AS pada November 2025 juga akan menjadi titik krusial arah kebijakan ekonomi dan politik global.

Bagi investor dan pelaku usaha, saat ini adalah waktu untuk berhati-hati. Diversifikasi portofolio, lindung nilai terhadap risiko energi, dan monitoring perkembangan geopolitik adalah langkah yang disarankan.

Kesimpulan

Ketidakpastian global memuncak. Di satu sisi, konflik Israel–Iran menimbulkan risiko baru bagi stabilitas energi dan geopolitik. Di sisi lain, Amerika Serikat sendiri sedang mengalami gejolak internal yang memperburuk ketidakpastian pasar.

Seluruh dunia kini menahan napas. Dalam suasana seperti ini, kehati-hatian adalah mata uang paling berharga. Dunia menanti—apakah pemimpin global akan mampu meredam krisis ini, atau justru membiarkan bola salju ketidakpastian terus menggelinding.

Berita Lainnya