Sepak Bola | MAKRO EKONOMI | TEKNOLOGI | AI dan robot | Crypto | EDUKASI
Inflasi Melemah di Mei 2025: Bukti Terkendali atau Sinyal Lemahnya Daya Beli?
Inflasi Indonesia pada Mei 2025 tercatat hanya 1,60% secara tahunan, terendah dalam 20 bulan terakhir. Meski menunjukkan stabilitas harga, sejumlah ekonom memperingatkan bahwa lemahnya inflasi juga mencerminkan perlambatan konsumsi rumah tangga pasca Lebaran.
MAKRO EKONOMIINFLASI
6/12/20253 min read


Inflasi Indonesia terus melandai. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa laju inflasi tahunan (year-on-year) untuk bulan Mei 2025 hanya mencapai 1,60%, turun signifikan dari 2,28% pada April dan jauh lebih rendah dari ekspektasi banyak analis.
Penurunan ini menjadikan inflasi bulan Mei sebagai yang terendah sejak September 2023, dan memicu diskusi publik—apakah ini bukti sukses pemerintah menstabilkan harga, atau justru mencerminkan melemahnya daya beli masyarakat?
Inflasi Inti dan Sektor Penyumbang
Inflasi inti, indikator yang tidak memasukkan harga bergejolak seperti bahan makanan dan energi, juga menunjukkan pelemahan dengan angka 1,78% (YoY), turun dari 2,04% bulan sebelumnya.
Adapun sektor yang paling banyak menyumbang penurunan inflasi antara lain:
Transportasi: Harga tiket pesawat dan angkutan umum menurun tajam setelah puncak arus mudik Lebaran.
Pangan Segar: Harga cabai, beras, dan daging ayam mengalami koreksi harga setelah sempat melonjak di bulan Ramadan.
Perumahan & Energi: Tarif listrik dan harga LPG tidak mengalami kenaikan, menjaga inflasi kelompok energi tetap stabil.
Daya Beli Melemah?
Namun, di balik angka inflasi yang menurun ini, banyak ekonom memberi catatan penting. Inflasi yang terlalu rendah bisa jadi sinyal bahwa permintaan domestik melemah, terutama setelah periode konsumsi tinggi selama bulan puasa dan Lebaran.
“Biasanya setelah Ramadan terjadi penyesuaian konsumsi. Tapi angka 1,60% ini sangat rendah. Kemungkinan masyarakat menahan belanja, baik karena alasan penghematan maupun ketidakpastian ekonomi,” ujar Dr. Iqbal Nasution, ekonom dari Universitas Gadjah Mada.
Laporan survei Bank Indonesia juga menunjukkan penurunan indeks keyakinan konsumen dari 128 menjadi 115 pada Mei, yang memperkuat dugaan bahwa konsumen mulai berhati-hati dalam berbelanja.
Dampak Terhadap Kebijakan Moneter
Inflasi yang rendah akan memberi ruang bagi Bank Indonesia untuk mempertimbangkan penurunan suku bunga pada semester kedua tahun ini, terutama jika tekanan global mereda dan pertumbuhan tetap lambat.
Hingga saat ini, BI masih mempertahankan suku bunga acuan di level 6,25%, tetapi mulai menghadapi tekanan dari pelaku usaha dan dunia industri untuk segera melakukan pelonggaran moneter.
“Kalau tren inflasi seperti ini berlanjut, sangat mungkin BI akan turunkan suku bunga hingga 50 basis poin tahun ini. Itu akan memberi napas bagi sektor properti, otomotif, dan UMKM,” jelas Mira Satriani, analis makro di IndoCapital Research.
Faktor Global: Harga Komoditas dan Tekanan Eksternal
Penurunan inflasi domestik juga tidak bisa dilepaskan dari tren harga global yang relatif moderat. Harga minyak dunia stabil di kisaran USD 75 per barel, sementara harga pangan dunia—seperti gandum dan kedelai—cenderung turun akibat panen besar di India dan China.
Meski begitu, gejolak geopolitik di Timur Tengah serta perlambatan ekonomi China masih menjadi faktor risiko yang bisa mendongkrak inflasi dalam waktu cepat.
Risiko Deflasi: Harus Waspada
Meski inflasi rendah sering kali dipandang positif oleh masyarakat karena daya beli lebih terjaga, risiko terbesarnya adalah deflasi, yakni penurunan harga yang terus-menerus akibat lemahnya permintaan.
Jika masyarakat terlalu banyak menahan belanja, maka roda ekonomi bisa ikut melambat. Pelaku usaha akan menurunkan produksi, PHK bisa meningkat, dan investasi bisa tertahan.
“Inflasi yang terlalu rendah bisa menimbulkan spiral negatif. Harus hati-hati. Pemerintah perlu menjaga agar permintaan tetap tumbuh, salah satunya lewat insentif dan stimulus langsung ke rumah tangga,” kata Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS.
Peran Stimulus Pemerintah
Untuk mendorong permintaan domestik, pemerintah telah meluncurkan paket stimulus senilai Rp 24,4 triliun untuk kuartal II 2025. Dana ini dialokasikan untuk:
Subsidi angkutan umum & diskon tiket pesawat
Bantuan sosial untuk rumah tangga miskin
Subsidi upah untuk pekerja sektor informal
Langkah ini dinilai sebagai strategi jitu untuk memacu belanja rumah tangga tanpa harus terlalu mengandalkan ekspor, apalagi di tengah kondisi ekonomi global yang belum sepenuhnya pulih.
Stabil Tapi Perlu Dorongan
Inflasi Mei 2025 memang rendah—bahkan sangat rendah. Ini bisa menjadi indikasi bahwa pemerintah berhasil mengendalikan harga, tetapi juga alarm bahwa konsumsi belum sepenuhnya pulih setelah Ramadan.
Dengan kombinasi stimulus fiskal, ruang pelonggaran suku bunga, dan ketahanan rantai pasok global, Indonesia berada di posisi strategis untuk mendorong pertumbuhan di paruh kedua 2025. Namun tanpa kehati-hatian, inflasi rendah ini bisa berubah jadi jebakan deflasi.
Pemerintah dan Bank Indonesia harus berjalan beriringan—menjaga stabilitas harga sambil tetap memacu permintaan agar ekonomi tetap tumbuh inklusif dan merata.
Berita Lainnya
NuntiaNews
Informasi terbaru tentang Teknologi terbaru seperti AI, Crypto dan Robot, Makro Ekonomi serta Edukasi
HALAMAN
Analisis
© 2025 NuntiaNews. All rights reserved.