Sepak Bola | MAKRO EKONOMI | TEKNOLOGI | AI dan robot | Crypto | EDUKASI
Kenaikan Royalti Tambang Picu Kekhawatiran di Sektor Nikel
Kebijakan kenaikan royalti nikel dari 10% menjadi 14% di Indonesia memicu gelombang kekhawatiran di kalangan pelaku industri. Bagaimana dampaknya terhadap produsen dan posisi Indonesia di pasar global?
MAKRO EKONOMI
4/29/20253 min read


Pada 28 April 2025, Indonesia resmi memberlakukan kenaikan tarif royalti untuk komoditas nikel, dari 10% menjadi 14%, sebagai bagian dari strategi pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor pertambangan. Keputusan ini, yang diumumkan melalui peraturan baru Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), langsung menyita perhatian pelaku industri, baik domestik maupun internasional. Di tengah posisi Indonesia sebagai raja nikel dunia, kebijakan ini ibarat pedang bermata dua: di satu sisi menjanjikan pundi-pundi tambahan bagi kas negara, di sisi lain mengancam margin keuntungan produsen dan daya saing global.
Latar Belakang Kenaikan Royalti
Indonesia menguasai sekitar 50% produksi nikel global, menjadikannya pemain kunci dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik (EV) dan teknologi energi bersih. Dengan cadangan nikel terbesar di dunia, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto terus mendorong hilirisasi untuk memaksimalkan nilai tambah komoditas ini. Namun, kebijakan kenaikan royalti ini muncul di saat yang dianggap “kurang tepat” oleh banyak pelaku industri. Menurut laporan Financial Times pada 29 April 2025, industri pertambangan menyebut kenaikan ini “ill-timed” karena bertepatan dengan fluktuasi harga nikel global dan meningkatnya permintaan untuk bahan baku EV.
Kenaikan royalti ini merupakan kelanjutan dari upaya pemerintah untuk menggenjot pendapatan non-pajak dari sektor sumber daya alam. Berdasarkan data Kementerian ESDM, sektor pertambangan menyumbang sekitar 3,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2024, dengan nikel sebagai kontributor utama. Dengan royalti yang lebih tinggi, pemerintah berharap dapat mendanai proyek-proyek infrastruktur dan transisi energi, sekaligus memperkuat posisi fiskal di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Baca juga Berita Makro Ekonomi Lainnya DISINI
Dampak pada Produsen Nikel
Kebijakan ini langsung memicu reaksi keras dari perusahaan tambang, baik lokal maupun asing. Perusahaan seperti Vale Indonesia (INCO) dan Harita Nickel menyuarakan kekhawatiran bahwa kenaikan royalti akan memangkas margin keuntungan mereka, terutama di tengah harga nikel yang masih fluktuatif. Pada 29 April 2025, harga nikel di London Metal Exchange (LME) tercatat sekitar $19.000 per ton, jauh di bawah puncaknya pada 2022 yang mencapai $50.000 per ton. Dengan biaya produksi yang sudah tinggi akibat investasi hilirisasi, royalti tambahan sebesar 4% bisa menjadi beban berat.
Seorang eksekutif dari Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengatakan kepada CNBC Indonesia pada 28 April 2025 bahwa kenaikan ini dapat memaksa beberapa produsen kecil untuk menghentikan operasi, terutama yang beroperasi di smelter dengan efisiensi rendah. Sementara itu, perusahaan multinasional seperti Freeport-McMoRan (FCX) dan Vale SA juga terdampak, dengan saham mereka menunjukkan penurunan di bursa global pasca pengumuman kebijakan ini, sebagaimana dilaporkan oleh postingan di platform X pada 29 April 2025.
Lebih lanjut, kenaikan royalti ini dapat memengaruhi investasi di sektor pertambangan. Indonesia telah menarik miliaran dolar investasi asing untuk smelter nikel, terutama dari Tiongkok. Namun, dengan beban finansial tambahan, beberapa investor mungkin akan mempertimbangkan ulang ekspansi mereka. “Ini seperti menyiram bensin ke api yang sudah membara. Margin kami sudah tipis, dan sekarang tekanan semakin besar,” ujar seorang analis industri yang dikutip oleh SINDOnews pada 28 April 2025.
Baca juga Berita Edukasi Lainnya DISINI
Implikasi bagi Pasar Global
Di pasar global, kenaikan royalti ini berpotensi memicu efek domino. Indonesia menyumbang lebih dari 50% pasokan nikel dunia, dan setiap gangguan di sini dapat menyebabkan guncangan pasokan. Sebuah postingan di X oleh @goldsilverdig pada 29 April 2025 menyebutkan bahwa kenaikan royalti ini bisa memicu “supply shock” di tengah meningkatnya permintaan nikel untuk baterai EV. Produsen mobil listrik seperti Tesla dan BYD, yang bergantung pada nikel untuk baterai lithium-ion, mungkin akan menghadapi kenaikan biaya bahan baku jika produsen nikel Indonesia menaikkan harga untuk mengimbangi royalti.
Namun, ada juga pandangan bahwa kebijakan ini bisa memperkuat posisi Indonesia dalam jangka panjang. Dengan mendorong hilirisasi, Indonesia tidak hanya menjual nikel mentah, tetapi juga produk olahan seperti stainless steel dan prekursor baterai. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dalam sebuah wawancara pada 28 April 2025, menegaskan bahwa royalti tambahan akan diinvestasikan kembali untuk mempercepat transisi energi dan membangun ekosistem EV domestik. “Kami ingin Indonesia menjadi pusat baterai dunia, bukan sekadar penyuplai bahan mentah,” katanya.
Tantangan dan Peluang ke Depan
Meski menjanjikan pendapatan tambahan, kebijakan ini tidak luput dari kritik. Beberapa ekonom memperingatkan bahwa kenaikan royalti bisa melemahkan daya saing Indonesia dibandingkan negara lain seperti Australia atau Filipina, yang juga memiliki cadangan nikel signifikan. Laporan Bank Dunia (Oktober 2024) yang dikutip oleh CNBC Indonesia pada 29 April 2025 menyebutkan bahwa ketidakpastian kebijakan di sektor pertambangan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang diproyeksikan hanya 4,7% pada 2025.
Di sisi lain, kebijakan ini juga membuka peluang untuk inovasi. Produsen nikel didorong untuk meningkatkan efisiensi operasional dan mengadopsi teknologi ramah lingkungan guna mengurangi biaya produksi. Pemerintah juga dapat memanfaatkan pendapatan royalti untuk mendanai riset dan pengembangan di sektor energi bersih, seperti daur ulang baterai atau pengembangan teknologi hidrometalurgi.
Baca juga Berita Menarik Lainnya DISINI
Kesimpulan
Kenaikan royalti nikel dari 10% menjadi 14% adalah langkah berani pemerintah Indonesia untuk memaksimalkan keuntungan dari sumber daya alamnya. Namun, di tengah dinamika pasar global dan tekanan ekonomi domestik, kebijakan ini seperti berjalan di atas tali tipis. Bagi produsen, ini adalah ujian kelangsungan bisnis di tengah margin yang semakin tipis. Bagi Indonesia, ini adalah taruhan besar untuk mempertahankan dominasinya di pasar nikel sambil membangun fondasi ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Apa pun hasilnya, satu hal pasti: dunia sedang memperhatikan langkah Indonesia. Dengan permintaan nikel yang terus meningkat seiring booming kendaraan listrik, keputusan ini akan membentuk tidak hanya masa depan industri nikel, tetapi juga posisi Indonesia dalam peta ekonomi global. Akankah kebijakan ini menjadi katalis kemajuan atau justru beban yang terlalu berat? Hanya waktu yang akan menjawab.
Berita Lainnya
NuntiaNews
Informasi terbaru tentang Teknologi terbaru seperti AI, Crypto dan Robot, Makro Ekonomi serta Edukasi
HALAMAN
Analisis
© 2025 NuntiaNews. All rights reserved.