Ketegangan Perdagangan Amerika Serikat dan China, Dolar Melemah

Hubungan dagang antara Amerika Serikat dan China kembali memanas, memicu aksi jual di pasar keuangan dan pelemahan nilai tukar dolar AS. Ketegangan ini menimbulkan kekhawatiran global terhadap stabilitas ekonomi dan perdagangan internasional.

MAKRO EKONOMI

6/3/20253 min read

Ketegangan Perdagangan Amerika Serikat dan China, Dolar Melemah | NuntiaNews
Ketegangan Perdagangan Amerika Serikat dan China, Dolar Melemah | NuntiaNews

Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China kembali meningkat dalam beberapa hari terakhir, mengirimkan gelombang kekhawatiran ke seluruh pasar global. Aksi saling tuding dan wacana kebijakan tarif lanjutan dari kedua negara adidaya ini berdampak signifikan terhadap mata uang, obligasi, dan sentimen investor secara keseluruhan.

Pada Senin malam waktu Washington, perwakilan perdagangan Amerika Serikat mengumumkan bahwa Gedung Putih sedang mempertimbangkan untuk memperluas daftar produk asal China yang akan dikenai tarif baru. Langkah ini disebut-sebut sebagai tanggapan terhadap dugaan praktik perdagangan tidak adil yang dilakukan oleh Beijing, termasuk subsidi industri dan pembatasan investasi asing.

Pemerintah China, dalam pernyataan resminya, mengecam langkah tersebut dan mengancam akan mengambil tindakan balasan yang "proporsional dan tegas". Beijing juga memperingatkan bahwa kebijakan semacam itu dapat merusak prospek pemulihan ekonomi global yang saat ini masih rapuh.

Dolar AS Melemah Tajam

Sebagai dampak langsung dari meningkatnya ketegangan tersebut, nilai tukar dolar AS terhadap sekeranjang mata uang utama melemah lebih dari 0,8% dalam perdagangan Selasa pagi waktu Asia. Yen Jepang dan franc Swiss, yang dikenal sebagai aset safe haven, menguat tajam karena investor menghindari risiko.

Analis mata uang dari JPMorgan, Lisa Chen, menyatakan bahwa pelemahan dolar kali ini mencerminkan dua faktor utama: kekhawatiran pasar terhadap prospek pertumbuhan ekonomi global, serta ekspektasi bahwa The Fed mungkin harus menahan diri dari kebijakan suku bunga agresif jika ketegangan ini terus berlanjut.

"Dolar melemah bukan hanya karena sentimen anti-risiko, tapi juga karena ada ketidakpastian besar tentang arah kebijakan moneter AS ke depan jika konflik dagang ini berubah menjadi perang tarif penuh," jelas Chen.

Pasar Saham Global Tertekan

Indeks saham utama di Wall Street juga mencatatkan penurunan. Dow Jones Industrial Average turun lebih dari 300 poin pada penutupan perdagangan, sementara Nasdaq merosot 1,5% karena kekhawatiran akan terganggunya rantai pasok teknologi global. Saham perusahaan multinasional seperti Apple dan Tesla, yang memiliki eksposur besar ke pasar China, turut menekan indeks.

Bursa saham Asia juga bereaksi negatif. Indeks Nikkei di Jepang turun 2,1%, sementara indeks Hang Seng di Hong Kong anjlok 2,4% akibat keluarnya modal asing. Investor global secara umum memilih untuk memindahkan aset mereka ke obligasi pemerintah AS jangka panjang dan logam mulia seperti emas, yang melonjak ke level tertinggi dalam dua bulan terakhir.

Perdagangan Global Kian Rawan

Ketegangan perdagangan AS-China bukan hanya masalah bilateral. Banyak negara ketiga—termasuk mitra dagang besar seperti Uni Eropa, Korea Selatan, dan India—ikut terkena dampak dari gejolak tersebut. Ekspor dan impor global, yang sudah melemah sejak pandemi, kini menghadapi hambatan tambahan berupa ketidakpastian tarif dan kebijakan proteksionis.

Bank Dunia dalam laporan singkatnya memperingatkan bahwa ketegangan antara dua ekonomi terbesar dunia ini dapat menurunkan pertumbuhan global hingga 0,4% dalam skenario terburuk. IMF juga menyarankan agar kedua pihak segera membuka jalur dialog dan menahan diri dari aksi sepihak.

Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya?

Para pelaku pasar kini memantau dengan cermat pertemuan tingkat tinggi antara pejabat ekonomi AS dan China yang dijadwalkan berlangsung minggu ini di Tokyo, dalam forum multilateral yang diselenggarakan oleh Asia Development Forum. Pertemuan ini bisa menjadi ajang diplomasi penting untuk meredakan ketegangan dan membangun kembali kepercayaan antar negara.

Namun, beberapa pengamat skeptis terhadap kemungkinan tercapainya kesepakatan dalam waktu dekat. "Situasi saat ini sangat politis, dan tahun ini adalah tahun yang sensitif baik untuk pemilu AS maupun konsolidasi ekonomi China," ujar ekonom dari Barclays, Henry Zhou.

Dampak ke Indonesia dan Negara Berkembang

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, eskalasi konflik dagang AS-China dapat berdampak pada dua hal utama: fluktuasi nilai tukar rupiah dan penurunan permintaan ekspor. Pelemahan dolar mungkin menguntungkan jangka pendek terhadap rupiah, tetapi ketidakpastian jangka panjang bisa menekan neraca perdagangan Indonesia, terutama di sektor komoditas.

Bank Indonesia menyatakan akan terus memantau dinamika global ini dan mengambil langkah stabilisasi yang diperlukan. "Kita tidak imun terhadap guncangan global, tapi kita punya cadangan devisa dan instrumen kebijakan untuk menjaga stabilitas moneter," kata Deputi Gubernur BI, Dody Budi Waluyo.

Kesimpulan

Ketegangan perdagangan AS-China kembali menjadi sorotan dunia dan telah membawa efek langsung pada pasar global, terutama nilai tukar, saham, dan komoditas. Ketidakpastian ini menekan sentimen bisnis dan investor, memaksa pelaku pasar untuk bersikap hati-hati menjelang pengumuman kebijakan lebih lanjut.

Bagi Indonesia dan negara berkembang lainnya, peristiwa ini menjadi pengingat betapa pentingnya diversifikasi ekonomi dan kesiapsiagaan terhadap gejolak eksternal yang tidak dapat diprediksi.

Berita Lainnya