Lonjakan Investasi Robotika Mengancam Pekerjaan Sederhana

Investasi global di bidang robotika melonjak hingga Rp36,3 triliun pada kuartal pertama 2025, memicu kekhawatiran akan hilangnya pekerjaan sederhana di berbagai sektor.

TEKNOLOGIROBOT

5/30/20253 min read

Lonjakan Investasi Robotika Mengancam Pekerjaan Sederhana | NuntiaNews
Lonjakan Investasi Robotika Mengancam Pekerjaan Sederhana | NuntiaNews

Pada kuartal pertama 2025, dunia menyaksikan gelombang investasi yang belum pernah terjadi sebelumnya di sektor robotika. Menurut laporan terbaru, lebih dari Rp36,3 triliun telah mengalir ke perusahaan-perusahaan pengembang robot dengan fungsi spesifik, menandakan era baru otomatisasi yang bergerak cepat. Namun, di balik kemajuan teknologi yang menakjubkan ini, muncul bayang-bayang kekhawatiran: ancaman terhadap pekerjaan sederhana yang selama ini menjadi tulang punggung banyak tenaga kerja global.

Investasi Robotika: Angka yang Membuat Kagum

Laporan dari berbagai sumber industri menunjukkan bahwa dana sebesar Rp36,3 triliun yang dialokasikan untuk pengembangan robotika pada awal 2025 adalah lompatan besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dana ini mengalir ke berbagai startup dan raksasa teknologi yang berfokus pada pengembangan robot humanoid, robot industri, dan sistem otomatisasi berbasis kecerdasan buatan (AI). Perusahaan seperti Hugging Face, yang baru saja meluncurkan robot humanoid HopeJR, dan lainnya di Silicon Valley, Tiongkok, serta Eropa, menjadi penerima utama investasi ini.

Apa yang mendorong lonjakan ini? Pertama, kemajuan pesat dalam AI telah memungkinkan robot untuk melakukan tugas-tugas yang sebelumnya hanya bisa dilakukan oleh manusia, mulai dari merakit komponen di lini produksi hingga melayani pelanggan di restoran. Kedua, krisis kekurangan tenaga kerja di banyak negara, terutama di sektor manufaktur dan logistik, mendorong perusahaan untuk beralih ke solusi otomatisasi. Ketiga, investor melihat potensi pasar robotika yang diperkirakan akan bernilai triliunan rupiah dalam dekade mendatang, sebagaimana disuarakan oleh CEO NVIDIA, Jensen Huang, yang memprediksi bahwa robot humanoid akan menjadi "industri raksasa berikutnya."

Robotika dan Dampaknya pada Pekerjaan Sederhana

Namun, di tengah euforia inovasi, ada konsekuensi yang tidak bisa diabaikan. Pekerjaan sederhana—seperti pekerjaan di lini produksi, logistik, ritel, dan layanan pelanggan—kini berada di ujung tanduk. Robot-robot canggih yang mampu bekerja 24/7 tanpa lelah atau keluhan mulai menggantikan peran manusia di sektor-sektor ini. Misalnya, di gudang-gudang besar seperti milik Amazon, robot logistik kini menangani sebagian besar pengemasan dan pengiriman, mengurangi kebutuhan akan pekerja manusia hingga 30% di beberapa fasilitas.

Di sektor ritel, robot pelayan seperti yang dikembangkan oleh perusahaan di Tiongkok mulai muncul di restoran dan kafe, mampu mengantarkan makanan atau bahkan menyiapkan minuman dengan presisi. Sementara itu, robot humanoid seperti HopeJR dari Hugging Face dirancang untuk mengambil benda, berjalan, dan berinteraksi dengan lingkungan secara dinamis, membuka kemungkinan untuk menggantikan pekerjaan seperti petugas kebersihan atau asisten toko.

Data dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan bahwa otomatisasi dapat menggantikan hingga 20% pekerjaan sederhana di negara-negara berkembang dalam lima tahun ke depan. Di Indonesia, sektor manufaktur tekstil dan elektronik, yang mempekerjakan jutaan orang, bisa menjadi yang paling terdampak. Sebuah studi lokal memperkirakan bahwa 15% pekerjaan di sektor ini berisiko digantikan oleh mesin dalam tiga tahun ke depan.

Peluang di Tengah Ancaman

Meski ancaman terhadap pekerjaan sederhana nyata, lonjakan investasi ini juga membuka peluang baru. Pertumbuhan industri robotika menciptakan permintaan akan tenaga kerja terampil di bidang teknik, pemrograman, dan pemeliharaan robot. Perusahaan-perusahaan pengembang robot kini bersaing untuk merekrut insinyur AI, teknisi robotika, dan spesialis data, dengan gaji yang sering kali jauh lebih tinggi dibandingkan pekerjaan sederhana yang digantikan.

Selain itu, ada potensi untuk menciptakan model bisnis baru. Misalnya, perusahaan startup di Indonesia mulai menawarkan jasa sewa robot untuk usaha kecil dan menengah, memungkinkan bisnis lokal untuk meningkatkan efisiensi tanpa harus mengeluarkan biaya besar untuk membeli robot. Ini bisa menjadi jalan tengah yang memungkinkan teknologi robotika diadopsi tanpa sepenuhnya mengorbankan tenaga kerja manusia.

Pemerintah dan institusi pendidikan juga mulai merespons tantangan ini. Di beberapa negara, seperti Singapura dan Jerman, program pelatihan ulang (reskilling) telah digulirkan untuk membantu pekerja yang kehilangan pekerjaan akibat otomatisasi. Di Indonesia, inisiatif serupa mulai muncul, meskipun masih dalam skala kecil. Misalnya, beberapa politeknik di Jawa mulai menawarkan kursus singkat tentang pemrograman robot dan AI, yang diharapkan dapat menyiapkan tenaga kerja untuk era otomatisasi.

Tantangan dan Solusi ke Depan

Meski peluang ada, tantangan untuk menyeimbangkan kemajuan teknologi dan stabilitas tenaga kerja tetap besar. Salah satu solusi yang diusulkan adalah penerapan pajak otomatisasi, di mana perusahaan yang menggunakan robot dalam skala besar dikenakan pajak tambahan untuk mendanai program pelatihan ulang atau jaminan sosial bagi pekerja yang terdampak. Namun, ide ini masih menuai pro dan kontra, dengan beberapa pihak berargumen bahwa pajak semacam itu bisa menghambat inovasi.

Selain itu, penting untuk memastikan bahwa manfaat teknologi robotika tidak hanya dinikmati oleh negara-negara maju. Negara berkembang seperti Indonesia perlu mengembangkan kebijakan yang mendorong transfer teknologi dan investasi dalam pendidikan STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika) untuk memastikan bahwa tenaga kerja lokal dapat bersaing di pasar global.

Pada akhirnya, lonjakan investasi di bidang robotika adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ini menjanjikan efisiensi, inovasi, dan solusi untuk tantangan global seperti kekurangan tenaga kerja. Di sisi lain, tanpa langkah-langkah mitigasi yang tepat, otomatisasi dapat memperlebar kesenjangan ekonomi dan sosial. Dunia, termasuk Indonesia, berada di persimpangan: apakah kita akan membiarkan teknologi mengambil alih tanpa kendali, atau apakah kita akan menggunakannya untuk menciptakan masa depan yang lebih inklusif?

Yang jelas, era robotika telah tiba, dan keputusan yang kita ambil hari ini akan menentukan bagaimana kita hidup di dunia yang semakin otomatis. Dengan investasi Rp36,3 triliun yang mengalir ke sektor ini pada 2025, satu hal pasti: perubahan besar sedang terjadi, dan kita semua harus bersiap.

Berita Lainnya