Microsoft Diterpa Protes Internal Gara-Gara Kontrak AI dengan Militer Israel
Microsoft tengah menghadapi gelombang protes dari karyawannya sendiri yang menolak keterlibatan perusahaan dalam kontrak AI dengan militer Israel, terutama di tengah konflik Gaza yang terus memanas.
AIPERUSAHAANTEKNOLOGI


Microsoft kembali menjadi sorotan, bukan karena peluncuran teknologi barunya, melainkan karena badai protes internal yang mengguncang kantor pusat mereka. Perusahaan teknologi asal Redmond ini kini menghadapi tekanan besar dari karyawan mereka sendiri yang menuntut penghentian kerja sama dengan militer Israel — terutama yang melibatkan teknologi kecerdasan buatan (AI) dan layanan komputasi awan.
Gelombang protes ini muncul di tengah konflik yang sedang berlangsung di Gaza, di mana banyak pihak internasional menyoroti krisis kemanusiaan yang terjadi. Keterlibatan Microsoft dalam mendukung teknologi militer Israel dianggap oleh sebagian besar pegawainya sebagai bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan prinsip etika teknologi.
Baca juga Rahasia di Balik Kemampuan AI Ngobrol Seperti Manusia
Akar Masalah: Proyek Rahasia dan Teknologi Canggih
Pusat dari konflik ini adalah kerja sama Microsoft melalui platform komputasi awan Azure dan solusi AI canggih yang digunakan dalam sistem pertahanan Israel. Teknologi yang disediakan dikabarkan mencakup pengenalan wajah, pengawasan drone, serta pengolahan data intelijen dalam skala besar — kemampuan yang sangat sensitif jika digunakan dalam konteks konflik militer.
Menurut laporan dari The Guardian (18 April 2025), karyawan Microsoft mempertanyakan transparansi proyek-proyek tersebut dan mengkhawatirkan bagaimana teknologi mereka digunakan untuk mendukung operasi militer yang menimbulkan korban sipil.
Baca juga AI di Media Sosial : Kok Bisa Tahu Konten Favorit Kita?
Protes Meledak di Internal
Keresahan internal mencapai puncaknya ketika dua karyawan Microsoft nekat menginterupsi sebuah acara perayaan ulang tahun ke-50 perusahaan yang digelar besar-besaran. Mereka menyerukan penghentian kontrak militer secara langsung di hadapan para eksekutif senior — tindakan yang berujung pada pemecatan mereka.
Namun, insiden tersebut bukannya meredam gejolak, melainkan justru memicu gelombang solidaritas. Karyawan lainnya mulai menggelar protes online, walkout, hingga menggalang petisi melalui kanal internal dan media sosial. Kampanye bertajuk "No Azure for Apartheid" kini menyebar luas, didukung pula oleh gerakan global Boycott, Divestment, Sanctions (BDS).
Salah satu pengembang perangkat lunak di Microsoft yang enggan disebut namanya mengatakan, “Kami tidak ingin teknologi yang kami bangun digunakan untuk menindas. Kami ingin menciptakan masa depan yang lebih baik, bukan memperburuk konflik yang sudah berdarah-darah.”
Baca juga 5 Hal yang Kamu Gunakan Setiap Hari (Tapi Gak Sadar Itu AI)
Manajemen Didesak Transparan
Pihak manajemen Microsoft belum memberikan pernyataan tegas soal kontrak dengan militer Israel. Namun, seorang juru bicara perusahaan menyatakan bahwa Microsoft "berkomitmen untuk menerapkan AI secara etis dan sesuai dengan standar HAM internasional."
Sayangnya, pernyataan ini tidak cukup untuk meredakan kekecewaan internal. Banyak karyawan menilai perusahaan hanya sekadar melakukan “damage control” tanpa mengubah kebijakan secara substansial.
“Microsoft sering berbicara tentang prinsip etika dalam AI, tapi kenyataannya kontrak seperti ini menunjukkan bahwa keuntungan tetap jadi prioritas utama,” ujar salah satu peneliti etika AI di perusahaan tersebut.
Baca juga Apakah AI Akan Menggantikan Pekerjaan Kita? Ini Fakta dan Realitanya
Gelombang Mundur Karyawan
Kondisi ini berdampak pada moral tim internal. Beberapa karyawan bahkan telah mengundurkan diri secara terbuka, menyebut ketidakcocokan nilai antara mereka dan kebijakan perusahaan. Ada pula yang menyatakan sedang mempertimbangkan untuk hengkang, terutama dari divisi yang terlibat langsung dalam teknologi militer.
Fenomena ini memperkuat tren ‘techlash’ — resistensi karyawan teknologi terhadap proyek-proyek yang dianggap bermasalah secara etika, seperti yang sebelumnya terjadi di Google dan Amazon dalam proyek-proyek militer AS.
Baca juga NEO Gamma: Robot Pelayan Canggih yang Siap Mengubah Kehidupan Rumah Tangga di Masa Depan
Tekanan Eksternal Bertambah
Selain dari dalam, tekanan juga datang dari luar. Aktivis HAM, kelompok pro-Palestina, dan sejumlah organisasi non-pemerintah menyerukan boikot terhadap Microsoft jika perusahaan tidak segera mengakhiri kerja samanya dengan institusi militer Israel. Tagar #NoTechForApartheid kembali viral di berbagai platform media sosial.
Beberapa investor etis bahkan mulai mempertanyakan integritas Microsoft dalam mempertahankan prinsip ESG (Environment, Social, and Governance) yang selama ini menjadi fondasi kebijakan perusahaan dalam menjual saham ke publik.
Baca juga AI di Dunia Pendidikan: Belajar Jadi Lebih Cerdas & Personal
Dilema Etika di Era AI
Kontroversi ini menyoroti persoalan yang lebih besar di era teknologi canggih: sampai sejauh mana perusahaan teknologi besar harus bertanggung jawab atas dampak sosial dan politik dari produk yang mereka jual?
AI bukan sekadar alat — ia adalah kekuatan yang dapat membentuk masa depan, baik ke arah progresif maupun destruktif. Ketika teknologi ini digunakan dalam konflik militer, implikasinya menjadi sangat kompleks dan rentan disalahgunakan.
Apa Selanjutnya?
Tekanan terhadap Microsoft diprediksi akan terus meningkat dalam beberapa minggu ke depan. Apalagi, perusahaan juga sedang dalam tahap ekspansi besar-besaran terhadap teknologi AI mereka, termasuk dalam produk Copilot, Azure AI, dan investasi besar ke startup AI seperti OpenAI dan Mistral.
Akankah Microsoft bersedia mengevaluasi ulang kontraknya demi menjaga integritas nilai-nilai perusahaan? Atau justru akan bertahan demi keuntungan strategis dan ekonomi?
Yang jelas, dunia sedang menyaksikan — dan karyawan Microsoft sendiri kini menjadi bagian dari suara hati nurani industri teknologi global.
Sumber: