Sepak Bola | MAKRO EKONOMI | TEKNOLOGI | AI dan robot | Crypto | EDUKASI
Mitos vs Fakta: Uang Dicetak untuk Atasi Krisis?
Ketika krisis melanda, banyak orang percaya bahwa solusi tercepat adalah mencetak lebih banyak uang. Tapi benarkah langkah itu bisa menyelesaikan masalah? Atau justru memperparahnya? Artikel ini membedah mitos dan fakta di balik pencetakan uang sebagai solusi krisis ekonomi.
EDUKASIMAKRO EKONOMI
6/15/20252 min read


Narasi Lama di Tengah Krisis
Setiap kali dunia dilanda krisis ekonomi—entah akibat pandemi, perang, atau resesi global—muncullah seruan klise: "Pemerintah tinggal cetak uang saja!" Di media sosial, mitos ini menyebar luas, menyederhanakan permasalahan ekonomi kompleks menjadi seolah-olah bisa diselesaikan dengan menekan tombol cetak. Tapi, apa yang sebenarnya terjadi jika sebuah negara mencetak uang untuk mengatasi krisis?
Mitos #1: "Pemerintah Bisa Cetak Uang Sebanyak yang Dibutuhkan"
✔ Fakta: Bisa, tapi sangat berisiko.
Secara teknis, bank sentral memang memiliki kemampuan untuk mencetak uang. Namun, mencetak uang tanpa dasar produktivitas atau nilai riil justru menciptakan risiko besar: hiperinflasi.
Contoh ekstrem adalah Zimbabwe pada tahun 2008, yang mencetak uang dalam jumlah besar untuk membiayai defisit anggaran. Akibatnya, nilai mata uang jatuh bebas, dan harga kebutuhan pokok melonjak hingga jutaan persen. Masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap mata uang mereka, dan ekonomi nyaris kolaps.
Mitos #2: "Kalau Amerika Bisa, Indonesia Juga Bisa"
✔ Fakta: Dolar AS adalah mata uang cadangan dunia. Rupiah bukan.
Amerika Serikat memang bisa mencetak uang dalam skala besar, seperti yang terjadi pada masa pandemi COVID-19. Namun, kekuatan dolar AS didukung oleh statusnya sebagai mata uang utama dalam perdagangan global, cadangan devisa internasional, dan kepercayaan investor global terhadap ekonomi AS.
Indonesia, dengan mata uang rupiah yang bergantung pada kestabilan nilai tukar dan persepsi investor, tidak memiliki ruang seluas itu. Jika Indonesia mencetak uang secara berlebihan, nilai tukar rupiah bisa melemah drastis dan memicu lonjakan harga barang impor, seperti BBM dan pangan.
Mitos #3: "Pencetakan Uang Tak Berpengaruh Selama Untuk Rakyat"
✔ Fakta: Tanpa pengelolaan fiskal dan moneter yang bijak, uang cetakan justru memperlebar jurang ketimpangan.
Salah satu argumen umum adalah mencetak uang untuk membantu rakyat miskin, seperti memberi bantuan sosial, BLT, atau subsidi. Namun jika tidak dibarengi peningkatan produktivitas atau belanja negara yang tepat sasaran, maka uang tersebut hanya akan meningkatkan permintaan tanpa menambah suplai barang.
Hasilnya? Inflasi tinggi yang justru menyulitkan rakyat miskin, karena daya beli mereka menurun lebih cepat dibanding kelompok kaya.
Kasus Indonesia: BI dan Kebijakan ‘Quantitative Easing’ Terukur
Selama pandemi COVID-19, Bank Indonesia (BI) memang melakukan kebijakan serupa pencetakan uang yang disebut quantitative easing (QE), yakni membeli obligasi pemerintah untuk membantu pendanaan fiskal.
Namun kebijakan ini dilakukan secara terukur, bersyarat, dan temporer, dengan mekanisme pengawasan ketat antara BI dan Kementerian Keuangan. Bahkan BI menyatakan secara tegas bahwa kebijakan ini bukan berarti mencetak uang tanpa batas, melainkan menjaga stabilitas moneter dalam jangka pendek.
Lalu Apa Solusi Sebenarnya Saat Krisis?
Reformasi Struktural – Mendorong produktivitas sektor riil agar pertumbuhan tidak bergantung pada konsumsi saja.
Investasi Infrastruktur dan SDM – Untuk menciptakan multiplier effect jangka panjang.
Digitalisasi dan Efisiensi Fiskal – Agar belanja negara benar-benar menyentuh sektor yang berdampak langsung ke masyarakat.
Kebijakan Moneter yang Kredibel – BI tetap menjaga inflasi, nilai tukar, dan kepercayaan pasar.
Uang Bukan Sekadar Kertas
Pencetakan uang mungkin terdengar mudah, tapi ekonomi bukan soal angka di mesin cetak, melainkan kepercayaan publik, kestabilan sistem keuangan, dan produktivitas nyata.
Saat pemerintah dan bank sentral salah langkah dalam mencetak uang, konsekuensinya bukan hanya angka inflasi—melainkan nasib seluruh generasi masa depan. Maka, penting bagi publik untuk memahami bahwa bukan semua solusi instan itu aman.
Berita Lainnya
NuntiaNews
Informasi terbaru tentang Teknologi terbaru seperti AI, Crypto dan Robot, Makro Ekonomi serta Edukasi
HALAMAN
Analisis
© 2025 NuntiaNews. All rights reserved.