Sepak Bola | MAKRO EKONOMI | TEKNOLOGI | AI dan robot | Crypto | EDUKASI
Pendiri Perusahaan Pembayaran Crypto Didakwa Cuci Uang Rp8,1 Triliun
Departemen Kehakiman Amerika Serikat mendakwa Iurii Gugnin, pendiri Evita Investments dan Evita Pay, karena terlibat dalam pencucian uang senilai lebih dari Rp8,1 triliun lewat stablecoin Tether (USDT). Gugnin diduga menggunakan jaringan pembayaran crypto ilegal untuk menghindari sanksi internasional dan menyamarkan transaksi bank Rusia.
CRYPTOTOKOH
6/11/20252 min read


Otoritas hukum Amerika Serikat kembali mengguncang dunia crypto global. Iurii Gugnin, seorang warga negara Rusia dan pendiri perusahaan pembayaran crypto Evita Investments LLC dan Evita Pay LLC, resmi didakwa oleh jaksa federal atas tuduhan berat pencucian uang lintas negara senilai lebih dari USD 500 juta (±Rp8,1 triliun).
Dalam dokumen pengadilan yang dirilis pada Senin (10 Juni), Gugnin dituduh mengoperasikan sistem pembayaran ilegal berbasis Tether (USDT) untuk memfasilitasi transaksi mencurigakan yang melibatkan bank-bank Rusia yang sedang dikenai sanksi internasional. Dugaan kuat menyebutkan bahwa platform yang ia rancang digunakan untuk menghindari deteksi otoritas dan membantu lembaga-lembaga keuangan yang tengah dibekukan aksesnya oleh Barat.
“Gugnin menggunakan platform crypto miliknya sebagai pintu belakang sistem keuangan global. Ia mencoba menyamarkan transaksi senilai setengah miliar dolar AS lewat jalur yang tidak diawasi secara legal,” kata Jaksa AS Damian Williams, dalam konferensi pers yang disiarkan di New York.
Tether dan Peranannya dalam Skema
Menurut laporan resmi Departemen Kehakiman (DOJ), Gugnin dan kaki tangannya secara aktif menggunakan stablecoin Tether (USDT) sebagai alat utama untuk mengalirkan dana antar negara. Tether, yang nilainya dipatok terhadap dolar AS, telah lama menjadi alat pembayaran favorit di kawasan yang menghadapi sanksi seperti Rusia, Iran, dan Venezuela.
Tether Ltd. sendiri belum dituduh melakukan kesalahan, tetapi kasus ini kembali membangkitkan perdebatan tentang bagaimana stablecoin dapat disalahgunakan dalam transaksi lintas batas tanpa pengawasan ketat.
Dalam investigasi DOJ dan IRS-Criminal Investigation, terungkap bahwa aliran dana mencurigakan tersebut berlangsung antara Juni 2023 hingga Januari 2025. Ratusan juta USDT diduga dikirim melalui jaringan dompet crypto yang saling terhubung, banyak di antaranya ditautkan ke entitas di Timur Tengah dan Eropa Timur.
Crypto Sebagai Ancaman atau Solusi?
Kasus ini memunculkan kembali kekhawatiran global bahwa sistem pembayaran berbasis crypto dapat dijadikan alat pencucian uang yang efisien, terutama di tengah ketegangan geopolitik dunia.
“Platform semacam ini, jika tidak diatur dengan tepat, bisa menjadi ‘Swiss bank digital’ untuk para pelaku kejahatan global,” ujar Kathleen Allen, analis keamanan siber dari Institute for Global Finance.
Namun, di sisi lain, para pendukung crypto menilai ini sebagai alasan kuat untuk mempercepat standarisasi regulasi global terhadap stablecoin dan platform keuangan berbasis blockchain.
Evita Pay: Dari Start-up Menjanjikan Jadi Alat Kejahatan Finansial
Evita Pay dan induknya Evita Investments sebelumnya sempat digadang-gadang sebagai salah satu start-up pembayaran paling menjanjikan di kawasan Eropa Timur. Dengan janji “transparansi blockchain dan efisiensi lintas negara”, perusahaan ini berhasil menarik ribuan pengguna dan klien dari Rusia, Kazakhstan, hingga Uni Emirat Arab.
Namun menurut FBI, sejak awal struktur perusahaan ini dirancang dengan celah untuk menyembunyikan transaksi. Gugnin disebut mengoperasikan jaringan "shadow wallet" dan menggunakan identitas palsu untuk mendaftarkan akun di berbagai bursa crypto.
Gugnin ditangkap pada akhir Mei di Georgia (negara bagian AS, bukan wilayah Kaukasus) dan saat ini ditahan di fasilitas federal sambil menunggu proses ekstradisi ke New York untuk sidang pertama. Ia menghadapi ancaman hukuman hingga 20 tahun penjara, jika terbukti bersalah.
Reaksi Dunia Crypto dan Dampaknya
Berita ini datang pada saat pasar crypto sedang memasuki masa bullish, dengan Bitcoin mendekati harga tertinggi baru. Namun kasus seperti ini menjadi pengingat pahit bahwa dunia crypto masih rentan terhadap eksploitasi kejahatan terorganisir.
Para pendiri bursa crypto, termasuk CEO Binance dan Kraken, telah merespons dengan menyerukan peningkatan KYC/AML (Know Your Customer/Anti-Money Laundering) dan mendesak otoritas global untuk menyusun regulasi yang seimbang—antara perlindungan dan inovasi.
Penutup
Kasus Iurii Gugnin adalah sinyal tegas dari penegak hukum bahwa crypto bukanlah zona tanpa hukum. Dalam dunia yang semakin terkoneksi secara digital, teknologi blockchain bukan hanya menjadi alat keuangan baru, tetapi juga medan pertarungan regulasi, etika, dan keamanan global.
Kini, semua mata tertuju pada pengadilan di New York—akankah ini menjadi babak penting dalam sejarah regulasi crypto, atau hanya satu dari sekian banyak skandal yang terus muncul?
Berita Lainnya
NuntiaNews
Informasi terbaru tentang Teknologi terbaru seperti AI, Crypto dan Robot, Makro Ekonomi serta Edukasi
HALAMAN
Analisis
© 2025 NuntiaNews. All rights reserved.