Sepak Bola | MAKRO EKONOMI | TEKNOLOGI | AI dan robot | Crypto | EDUKASI
Prabowo Tuntut Keadilan Sejarah: Kolonialisme Belanda Rugikan Indonesia 500 Kuadriliun
Dalam forum internasional Indo Defence 2025, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan klaim mengejutkan: kolonialisme Belanda telah menyebabkan kerugian ekonomi sebesar Rp500.000 triliun terhadap Indonesia. Pernyataan ini memicu diskusi global tentang keadilan sejarah, reparasi, dan posisi strategis Indonesia dalam geopolitik dunia modern.
MAKRO EKONOMITOKOH
6/13/20253 min read


Presiden Prabowo Subianto kembali menjadi sorotan dunia dalam forum pertahanan internasional Indo Defence 2025 yang diselenggarakan di Jakarta. Dalam pidato kunci yang penuh semangat, Prabowo mengangkat isu yang selama ini jarang disentuh oleh kepala negara secara terbuka: kerugian ekonomi akibat kolonialisme Belanda terhadap Indonesia.
Dengan suara tegas, Prabowo menyatakan bahwa berdasarkan estimasi ekonom dan sejarawan yang dikompilasi oleh tim kepresidenan, pemerintahan kolonial Belanda telah mengambil kekayaan dari Indonesia senilai lebih dari Rp500.000 triliun dalam nilai saat ini. Angka ini setara dengan hampir 140 kali anggaran negara tahun 2025, yang sekitar Rp3.600 triliun.
"Kami Tidak Lupa Sejarah"
Dalam pidatonya, Prabowo mengatakan:
"Kami tidak menuntut balas, tapi kami tidak lupa. Kolonialisme telah menyedot kekayaan alam dan tenaga rakyat Indonesia selama ratusan tahun. Nilainya hari ini mencapai Rp500.000 triliun. Ini bukan sekadar angka — ini adalah luka sejarah yang belum sepenuhnya disembuhkan."
Pernyataan ini langsung menjadi viral dan dibicarakan secara luas oleh media global. Beberapa negara di Eropa mengeluarkan pernyataan netral, sementara beberapa pengamat politik menyebut langkah ini sebagai strategi diplomasi baru untuk menegosiasikan posisi Indonesia secara lebih kuat dalam forum internasional.
Menggugat Warisan Kolonialisme
Isu dampak kolonialisme bukan hal baru, tetapi baru kali ini di era modern Indonesia, seorang presiden menyampaikannya secara terbuka dan terstruktur di panggung global.
Prabowo menyebut bahwa selama lebih dari tiga abad, kolonialisme Belanda tidak hanya mengeksploitasi sumber daya alam seperti rempah-rempah, kopi, minyak bumi, dan karet, tetapi juga memiskinkan struktur sosial-ekonomi rakyat Indonesia melalui pajak paksa, kerja rodi, dan diskriminasi hukum.
Menurut kajian yang dirujuk oleh Prabowo (diambil dari laporan ekonomi sejarah yang juga digunakan oleh Leiden Institute for Colonial Studies), rata-rata transfer nilai kekayaan dari Hindia Belanda ke Belanda setiap tahun pada abad ke-19 setara dengan miliaran dolar dalam kurs hari ini.
Kenapa Rp500.000 Triliun?
Sumber internal Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi menyebut bahwa angka ini diambil dari:
Akumulasi surplus perdagangan kolonial selama 350 tahun
Estimasi nilai sumber daya alam yang diekspor secara paksa
Konversi nilai historis menjadi nilai saat ini menggunakan indeks inflasi dan nilai tukar pasar
Kerugian produktivitas akibat sistem tanam paksa dan kerja paksa
Walau masih bisa diperdebatkan secara akademik, angka ini digunakan sebagai simbol politik dan moral, bukan sebagai tuntutan reparasi langsung.
Reaksi Global dan Domestik
Pernyataan Prabowo langsung memantik perdebatan global.
Belanda menolak memberikan komentar resmi, tetapi beberapa anggota parlemen menyebutkan bahwa “diskusi soal reparasi sebaiknya dilakukan melalui dialog diplomatik, bukan tekanan publik.”
Negara-negara Global South seperti Brazil, Nigeria, dan India menyambut positif langkah Indonesia dan menyebutnya sebagai “tonggak diplomatik bagi keadilan sejarah.”
Di dalam negeri, mayoritas fraksi DPR mendukung langkah Prabowo. Akademisi dan ekonom menyarankan agar ini diikuti dengan strategi diplomatik yang sistematis, bukan hanya pernyataan simbolik.
Strategi Politik Prabowo?
Sejumlah analis menilai bahwa langkah ini merupakan bagian dari strategi geopolitik yang lebih besar. Dengan menyuarakan isu sejarah dan keadilan global, Prabowo:
Meningkatkan daya tawar Indonesia dalam forum internasional, khususnya terkait FTA dengan Uni Eropa
Menunjukkan kepemimpinan Global South yang aktif dan vokal
Menarik dukungan politik domestik dari berbagai spektrum ideologi
“Prabowo sedang membangun citra sebagai pemimpin yang bukan hanya kuat di dalam negeri, tetapi juga berani menggugat narasi global yang selama ini berat sebelah,” ujar Prof. Yusril Mahendra, pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia.
Kolonialisme dan Ekonomi Modern
Yang menarik, pernyataan Prabowo tidak berdiri sendiri. Ia juga mengaitkan warisan kolonial dengan tantangan ekonomi modern Indonesia, termasuk:
Ketimpangan struktural di sektor agraria
Ketergantungan pada ekspor bahan mentah
Keterbatasan akses teknologi dan manufaktur
Dengan mengangkat isu kolonialisme, Prabowo secara implisit mengajak negara-negara besar untuk membangun model hubungan ekonomi yang lebih adil dan simetris.
Menuju “Dekolonisasi Ekonomi”?
Dalam penutup pidatonya, Prabowo menyatakan:
“Kita tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi kita bisa mengubah masa depan. Kita ingin hubungan global yang berdasarkan saling menghormati dan saling menguntungkan. Sudah saatnya ekonomi dunia meninggalkan pola kolonial dalam bentuk baru.”
Pernyataan ini ditafsirkan sebagai penolakan terhadap bentuk-bentuk baru dominasi ekonomi, termasuk praktik neo-kolonialisme dalam investasi asing, eksploitasi digital, dan standar perdagangan yang tidak adil.
Keadilan Historis Sebagai Arah Baru Diplomasi
Prabowo Subianto telah membuka babak baru dalam diplomasi Indonesia. Dengan berani menyuarakan fakta sejarah dan mengaitkannya dengan posisi strategis Indonesia saat ini, ia memposisikan negara sebagai aktor global yang bukan hanya pasif, tetapi vokal dan tegas.
Apakah ini akan mendorong perubahan nyata di tataran global? Waktu yang akan menjawab. Namun satu hal jelas: Indonesia tidak lagi hanya diam ketika sejarah berbicara.
Berita Lainnya
NuntiaNews
Informasi terbaru tentang Teknologi terbaru seperti AI, Crypto dan Robot, Makro Ekonomi serta Edukasi
HALAMAN
Analisis
© 2025 NuntiaNews. All rights reserved.