Sepak Bola | MAKRO EKONOMI | TEKNOLOGI | AI dan robot | Crypto | EDUKASI
Regulasi AI di Indonesia: Siapa Mengatur Siapa?
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI), Indonesia mulai merancang regulasi untuk mengatur penggunaannya. Namun, pertanyaan besar muncul: siapa yang seharusnya mengatur AI di Tanah Air? Pemerintah, industri, atau masyarakat?
AIEDUKASI
6/9/20253 min read


Regulasi AI di Indonesia: Siapa Mengatur Siapa?
Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) bukan lagi istilah masa depan. Ia sudah hadir, meresap ke dalam hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia—dari fitur wajah di kamera ponsel, algoritma rekomendasi belanja online, hingga sistem pemantauan lalu lintas dan layanan kesehatan digital.
Namun, seperti dua sisi mata uang, AI membawa potensi dan risiko. Di satu sisi, ia mampu meningkatkan efisiensi, inovasi, dan pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, AI menimbulkan tantangan etika, bias algoritma, pengawasan massal, hingga potensi pengangguran akibat otomatisasi. Maka, muncul satu pertanyaan besar: bagaimana AI seharusnya diatur di Indonesia, dan siapa yang paling tepat menjadi pengaturnya?
Indonesia Belum Memiliki Regulasi AI yang Komprehensif
Hingga pertengahan 2025, Indonesia belum memiliki undang-undang khusus yang mengatur pengembangan, distribusi, dan penggunaan AI. Meski begitu, pemerintah melalui berbagai kementerian dan lembaga telah menyusun beberapa kebijakan sektoral yang menyentuh aspek-aspek teknologi digital.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), misalnya, telah menerbitkan Roadmap Indonesia Digital 2021–2024 yang salah satu fokusnya adalah penguatan AI untuk mendukung transformasi digital nasional. Namun, roadmap tersebut belum menyentuh aspek pengawasan, etika, dan perlindungan pengguna secara mendalam.
Sementara itu, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)—yang kini tergabung dalam BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional)—pernah merilis kajian tentang strategi nasional AI yang mencakup lima sektor prioritas: layanan publik, kesehatan, pendidikan, reformasi birokrasi, dan ketahanan pangan.
Namun, semua itu masih berupa dokumen perencanaan. Belum ada instrumen hukum yang memiliki kekuatan mengikat untuk menertibkan pemanfaatan AI di berbagai sektor.
Bandingkan dengan China dan Uni Eropa
Jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia tergolong masih tertinggal dalam pengaturan AI. China, sebagai kekuatan AI global, memiliki pendekatan yang terpusat dan agresif. Pemerintahnya aktif mengembangkan AI nasional sekaligus menerapkan peraturan ketat—seperti melarang penggunaan AI untuk menyebarkan informasi palsu dan mewajibkan transparansi pada sistem yang digunakan untuk mempengaruhi opini publik.
Sementara itu, Uni Eropa (UE) menjadi pelopor regulasi AI berbasis etika. Pada 2024, UE resmi mengesahkan AI Act, sebuah regulasi komprehensif pertama di dunia yang mengelompokkan aplikasi AI berdasarkan tingkat risiko (minimal hingga tinggi) dan menetapkan standar keamanan, transparansi, dan akuntabilitas.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Apakah akan mengikuti jejak China yang sentralistik atau Eropa yang berbasis hak asasi manusia?
Siapa yang Punya Otoritas Mengatur AI?
Pertanyaan tentang siapa yang paling berhak atau layak mengatur AI di Indonesia memunculkan diskusi yang tak kalah kompleks. Berikut beberapa opsi yang kerap disebut:
1. Pemerintah
Pemerintah, tentu saja, menjadi aktor kunci. Dengan kekuatan regulatif dan anggaran negara, pemerintah dapat membuat undang-undang, menetapkan standar, dan memberikan sanksi. Namun, banyak yang khawatir bila pemerintah terlalu dominan, maka potensi penyalahgunaan kekuasaan lewat AI (seperti pengawasan berlebihan atau represi digital) bisa terjadi.
2. Industri Teknologi
Sebagian pihak berpandangan bahwa pelaku industri memiliki kapasitas teknis paling besar untuk memahami dan menerapkan AI. Namun, membiarkan industri mengatur dirinya sendiri seringkali berujung pada konflik kepentingan—keamanan dan hak pengguna bisa dikorbankan demi efisiensi atau keuntungan.
3. Masyarakat Sipil dan Akademisi
Peran masyarakat sipil, jurnalis, dan akademisi sangat penting sebagai penyeimbang. Mereka dapat menyoroti dampak sosial AI, memperjuangkan transparansi, dan mengawasi penerapan kebijakan publik. Namun, tanpa dukungan hukum dan akses terhadap data, pengaruh mereka cenderung terbatas.
Urgensi Regulasi Berbasis Keadilan Sosial
Indonesia bukan hanya perlu regulasi AI, tapi juga regulasi yang adil dan inklusif. AI harus dikembangkan dengan mempertimbangkan keberagaman budaya, tingkat literasi digital, dan kesenjangan akses teknologi di berbagai wilayah Indonesia.
Jika tidak, AI justru berpotensi memperlebar ketimpangan. Contohnya, sistem rekrutmen berbasis AI yang tidak transparan bisa mendiskriminasi kelompok tertentu. Atau, chatbot layanan publik yang tidak mendukung bahasa daerah dapat mengecualikan sebagian warga.
Langkah-Langkah yang Bisa Ditempuh
Agar tidak tertinggal dalam perlombaan global AI, Indonesia perlu segera:
Menyusun Undang-Undang AI Nasional
Undang-undang ini harus mencakup prinsip transparansi, akuntabilitas, hak atas privasi, perlindungan data pribadi, serta etika penggunaan AI.Membentuk Otoritas AI Independen
Lembaga ini dapat berfungsi sebagai pengawas dan penasihat teknologi, serupa dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), namun khusus untuk AI dan teknologi digital.Mendorong Kolaborasi Multisektor
Pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat sipil perlu duduk bersama untuk merancang kerangka kebijakan yang seimbang dan reflektif terhadap nilai-nilai Indonesia.Mengintegrasikan Literasi AI dalam Pendidikan
Anak muda Indonesia perlu dibekali kemampuan memahami dan mengkritisi teknologi AI sejak dini. Bukan hanya sebagai pengguna, tapi juga sebagai pencipta dan pengawas.
Regulasi atau Dikendalikan?
AI bukan lagi teknologi masa depan. Ia sudah ada, dan akan terus berkembang. Namun, siapa yang mengatur siapa akan menentukan bentuk masa depan kita. Tanpa regulasi yang cermat dan partisipatif, AI bisa menjadi alat dominasi, bukan pemberdayaan.
Kini, Indonesia berada di titik krusial. Apakah akan menjadi negara yang hanya mengimpor teknologi tanpa arah? Atau justru tampil sebagai bangsa yang berdaulat secara digital, dengan AI yang berpihak pada keadilan sosial dan kemanusiaan?
Pertanyaannya masih sama: Siapa yang mengatur siapa?
Jawabannya, seharusnya: kita semua.
Berita Lainnya
NuntiaNews
Informasi terbaru tentang Teknologi terbaru seperti AI, Crypto dan Robot, Makro Ekonomi serta Edukasi
HALAMAN
Analisis
© 2025 NuntiaNews. All rights reserved.