Sepak Bola | MAKRO EKONOMI | TEKNOLOGI | AI dan robot | Crypto | EDUKASI
Tarik Ulur Dagang AS–China Kembali Memanas: Delegasi Bertemu di London Bahas Tarif
Amerika Serikat dan China kembali duduk satu meja hari ini di London dalam perundingan dagang yang dinanti-nantikan. Pertemuan ini menjadi babak penting untuk mengakhiri ketegangan tarif yang telah mengguncang pasar global sejak awal 2025. Akankah kedua raksasa ekonomi ini sepakat melakukan rollback tarif dalam 90 hari ke depan?
MAKRO EKONOMI
6/9/20253 min read


Dalam suasana diplomatik yang penuh ketegangan namun sarat harapan, Amerika Serikat dan China kembali membuka lembaran baru dalam negosiasi dagang global. Pertemuan tingkat tinggi digelar hari ini di London, menghadirkan sejumlah pejabat senior kedua negara yang memiliki mandat langsung dari Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping.
Langkah ini menandai kelanjutan dari perjanjian awal yang dicapai di Jenewa bulan lalu—di mana kedua pihak menyetujui jeda tarif selama 45 hari sebagai bagian dari "Cooling-off Agreement". Namun, perundingan kali ini jauh lebih krusial: kedua belah pihak diharapkan menyepakati rollback tarif dalam 90 hari ke depan, termasuk isu panas seperti pasokan mineral langka, kontrol ekspor, dan perlindungan kekayaan intelektual.
Siapa Saja yang Terlibat?
Delegasi Amerika dipimpin oleh Menteri Keuangan Scott Bessent, didampingi Menteri Perdagangan Howard Lutnick dan United States Trade Representative (USTR) Jamieson Greer. Ketiga tokoh ini merupakan arsitek utama kebijakan dagang Presiden Trump di periode keduanya.
Sementara dari pihak China, delegasi dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri He Lifeng, salah satu ekonom paling berpengaruh dalam birokrasi ekonomi China. Ia didampingi oleh pejabat dari Kementerian Perdagangan dan Komisi Reformasi & Pembangunan Nasional (NDRC).
Pertemuan berlangsung di gedung Chatham House, London, dengan pengamanan ketat dan pantauan media global yang intens.
Apa yang Dipertaruhkan?
Ketegangan dagang AS–China selama enam bulan terakhir telah menciptakan ketidakpastian luar biasa di pasar global. Sejak Trump kembali mengenakan tarif tambahan atas baja, semikonduktor, dan bahan baku logam dari China pada awal 2025, sejumlah negara mitra dagang terkena dampak lanjutan, termasuk Jerman, Jepang, hingga negara-negara ASEAN.
Beberapa data utama:
Perdagangan bilateral AS–China turun 17% sepanjang Q1 2025.
Harga rare earth melonjak hingga 31% sejak Maret 2025 karena pembatasan ekspor dari China.
Inflasi produsen global naik, bahkan di zona euro, yang tidak terlibat langsung dalam konflik.
Rollback tarif dalam waktu 90 hari dipandang sebagai solusi krusial untuk meredakan tekanan biaya produksi global, memperbaiki arus logistik, dan membangun kembali kepercayaan dunia usaha.
Respons Pasar
Menjelang perundingan, indeks saham global mengalami reli positif. Dow Jones futures, Nasdaq, dan S&P 500 mengalami penguatan tipis sejak Jumat malam, mencerminkan harapan investor terhadap kesepakatan damai.
Di Asia, indeks Nikkei dan Hang Seng juga naik masing-masing 1,1% dan 0,9%, sementara harga minyak mentah Brent bertahan di atas US$ 66 per barel. Imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun sedikit naik ke 4,31% sebagai reaksi atas penundaan ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed.
Investor berharap pertemuan ini bukan sekadar diplomasi simbolik, melainkan menjadi jembatan menuju penyesuaian struktural yang lebih luas.
Isu Strategis yang Dibahas
Menurut bocoran dari sejumlah analis dagang dan diplomat senior, berikut adalah tiga isu utama yang jadi fokus negosiasi:
Rollback Tarif 2024–2025
AS ingin pembalikan tarif tahap awal berlaku dalam 30 hari, namun China mengusulkan skema bertahap selama 90 hari dengan pengawasan multilateral dari WTO.Pasokan Rare Earth & Mineral Strategis
China menuntut penghapusan hambatan ekspor terhadap lithium, gallium, dan graphite. Sebagai gantinya, AS meminta jaminan supply chain yang transparan dan akses pasar untuk perusahaan-perusahaan teknologi AS.Proteksi Kekayaan Intelektual & Teknologi
Washington menekan agar Beijing memperkuat perlindungan atas paten dan mengurangi praktik "forced tech transfer" terhadap perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di China.
Komentar Para Tokoh
"Ini bukan hanya soal dagang, tapi juga arah geopolitik ekonomi dunia. Kita di titik persimpangan—menentukan apakah dunia bergerak ke arah fragmentasi atau koeksistensi."
— Scott Bessent, Menteri Keuangan AS
"China terbuka pada kerja sama yang adil dan setara, tapi tidak akan bernegosiasi di bawah tekanan."
— He Lifeng, Wakil Perdana Menteri China
Para analis memperkirakan pembicaraan ini tidak akan langsung menghasilkan pengumuman resmi, namun kemungkinan besar akan diikuti oleh Joint Statement esok hari (10 Juni 2025) jika terjadi kemajuan signifikan.
Apa Artinya Bagi Indonesia dan Kawasan?
Sebagai negara dengan keterbukaan dagang tinggi, Indonesia memiliki kepentingan besar dalam meredanya ketegangan AS–China. Pemulihan harga komoditas, stabilitas nilai tukar rupiah, serta peningkatan ekspor bisa terpengaruh langsung oleh hasil negosiasi London ini.
Selain itu, rantai pasok industri manufaktur Indonesia—khususnya yang terhubung dengan sektor otomotif, logam dasar, dan teknologi—ikut bergantung pada kepastian dagang global.
Menanti Kepastian dalam Ketidakpastian
Pertemuan dagang AS–China di London bukan hanya soal tarif, tapi pertaruhan besar bagi tatanan ekonomi dunia pasca-pandemi. Dunia berharap dua kekuatan ekonomi ini mampu mengesampingkan ego politik demi keberlanjutan pertumbuhan global.
Dalam 72 jam ke depan, mata dunia akan tertuju ke satu meja: tempat dua kekuatan ekonomi terbesar mencoba merajut kembali kerja sama—dengan atau tanpa kompromi.
Berita Lainnya
NuntiaNews
Informasi terbaru tentang Teknologi terbaru seperti AI, Crypto dan Robot, Makro Ekonomi serta Edukasi
HALAMAN
Analisis
© 2025 NuntiaNews. All rights reserved.