The Fed & BoE Tahan Suku Bunga, Pasar Waspadai Lonjakan Harga Minyak

Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) dan Bank of England (BoE) memilih menahan suku bunga di tengah tekanan geopolitik dan potensi lonjakan harga minyak akibat konflik Timur Tengah. Investor bersiap menghadapi skenario "stagflasi", sementara pasar global mencermati langkah selanjutnya dari bank sentral utama dunia.

MAKRO EKONOMI

6/14/20253 min read

The Fed & BoE Tahan Suku Bunga, Pasar Waspadai Lonjakan Harga Minyak | NuntiaNews
The Fed & BoE Tahan Suku Bunga, Pasar Waspadai Lonjakan Harga Minyak | NuntiaNews

Washington – 14 Juni 2025.
Ketidakpastian ekonomi global kembali meningkat setelah Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve) dan Bank of England (BoE) mengambil sikap "wait and see" terhadap suku bunga acuan mereka. Di tengah inflasi yang mulai mereda, lonjakan harga minyak akibat serangan militer Israel ke Iran membuat pasar berspekulasi: apakah pelonggaran moneter masih memungkinkan dalam waktu dekat?

Langkah ini dianggap sebagai strategi antisipatif terhadap kemungkinan “stagflasi” — kondisi ekonomi yang ditandai oleh pertumbuhan lemah, inflasi tinggi, dan pengangguran meningkat — yang bisa dipicu oleh ketegangan geopolitik serta guncangan harga energi global.

The Fed: Tahan Dulu, Tapi Mata Tertuju ke Harga Minyak

Setelah menaikkan suku bunga agresif sepanjang 2023 hingga mencapai level 5,5%, The Fed sejak awal tahun ini menunjukkan sinyal penurunan suku bunga. Inflasi yang sempat melonjak kini mereda menjadi 2,8% (per Mei 2025), membuat para pelaku pasar berharap pada pelonggaran moneter.

Namun, peristiwa geopolitik terbaru mengubah segalanya.

Dalam pernyataan resminya, Ketua The Fed Jerome Powell menyatakan:

“Kami memperhatikan data inflasi dan tenaga kerja yang positif, tetapi meningkatnya harga energi akibat konflik di Timur Tengah perlu direspons dengan kehati-hatian.”

Keputusan The Fed untuk menahan suku bunga pada rapat Juni 2025 menunjukkan bahwa stabilitas harga tetap menjadi prioritas. Harga minyak mentah global yang melonjak 10% dalam sehari menciptakan kekhawatiran akan tekanan biaya yang menyebar ke seluruh lapisan ekonomi: dari transportasi, logistik, hingga kebutuhan rumah tangga.

Bank of England: Awasi Tarif dan Dampak Eksternal

Sementara itu, BoE yang sebelumnya memangkas suku bunga menjadi 4,25% pada Mei 2025 kini menyatakan bahwa langkah pelonggaran lebih lanjut “harus didasarkan pada ketahanan perekonomian Inggris dalam menghadapi tekanan eksternal”.

Gubernur BoE, Andrew Bailey, mengatakan bahwa pasar tenaga kerja Inggris masih kuat, namun volatilitas harga energi dan nilai tukar pound terhadap dolar harus dipertimbangkan secara serius.

“Jika tekanan biaya akibat tarif impor dari Amerika Serikat dan lonjakan harga minyak terus berlanjut, kami harus mempertimbangkan kembali arah kebijakan kami,” ujarnya.

Langkah BoE ini sejalan dengan sikap hati-hati bank sentral global lainnya seperti European Central Bank (ECB) dan Bank of Japan (BoJ) yang juga dijadwalkan mengumumkan kebijakan mereka dalam beberapa hari ke depan.

Dampak Global: Pasar Berayun, Investor Pindah ke Safe-Haven

Keputusan bank sentral utama dunia untuk menahan pelonggaran moneter membuat pasar finansial bergerak liar.

  • Indeks saham global seperti S&P 500, FTSE 100, dan Nikkei 225 mengalami penurunan antara 0,5–1,2% dalam 24 jam terakhir.

  • Harga minyak mentah Brent menembus $93 per barel — tertinggi sejak Oktober 2023.

  • Emas melonjak ke $2.180 per ons troy, menunjukkan perpindahan modal investor ke aset aman (safe haven).

  • Nilai tukar rupiah sempat tertekan, menyentuh Rp15.350/USD, sebelum stabil kembali pada sesi perdagangan sore karena intervensi Bank Indonesia.

Investor global kini lebih konservatif. Obligasi pemerintah AS (US Treasury) mengalami lonjakan permintaan, menurunkan yield jangka panjang — tanda kekhawatiran terhadap pertumbuhan ekonomi jangka pendek.

Risiko Stagflasi: Kenangan 1970-an?

Kombinasi antara inflasi tinggi dan perlambatan pertumbuhan ekonomi memunculkan kembali istilah yang sempat populer di era 1970-an: stagflasi.

Ekonom dari JP Morgan menyatakan bahwa:

“Jika harga energi terus naik dan bank sentral tidak punya ruang untuk menurunkan suku bunga, maka dunia berpotensi masuk ke zona stagflasi, khususnya di negara-negara G7.”

Skenario ini menjadi mimpi buruk bagi pembuat kebijakan. Di satu sisi, mereka ingin meredam tekanan biaya hidup. Di sisi lain, mereka tidak ingin merusak momentum pemulihan ekonomi pasca pandemi dan krisis geopolitik berkepanjangan.

Implikasi ke Negara Berkembang: Termasuk Indonesia

Negara berkembang seperti Indonesia menghadapi tantangan ganda. Di satu sisi, stabilitas nilai tukar rupiah akan diuji oleh penguatan dolar dan lonjakan harga impor, terutama energi dan pangan.

Di sisi lain, ruang fiskal dan moneter menjadi terbatas. Jika The Fed tidak segera menurunkan suku bunga, maka Bank Indonesia juga harus tetap mempertahankan BI rate di level tinggi untuk menjaga arus modal dan stabilitas rupiah.

Analis dari HSBC menyebutkan:

“Ketergantungan Indonesia terhadap energi impor membuat APBN rentan terhadap guncangan harga minyak. Subsidi energi bisa membengkak jika harga dunia terus naik.”

Namun, Indonesia juga bisa mengambil peluang jika ketegangan mereda. Arus modal asing bisa kembali masuk ke pasar obligasi rupiah, dan inflasi yang terkendali bisa menjaga daya beli masyarakat.

Menahan Napas di Tengah Ketidakpastian

Langkah The Fed dan BoE untuk menahan suku bunga menunjukkan kehati-hatian di tengah dunia yang makin kompleks. Mereka tidak ingin tergesa-gesa memangkas suku bunga, apalagi saat tekanan biaya justru meningkat karena konflik geopolitik dan guncangan harga minyak.

Bagi investor, saat ini adalah momen untuk menilai ulang portofolio: peran emas, obligasi, dan mata uang safe haven mungkin kembali dominan. Bagi pengambil kebijakan, tantangannya adalah menavigasi ketidakpastian dengan komunikasi yang jelas dan kebijakan yang fleksibel.

Dan bagi negara berkembang seperti Indonesia, kekuatan fundamental domestik—dari cadangan devisa, kestabilan fiskal, hingga kredibilitas bank sentral—akan menjadi penentu seberapa besar ketahanan menghadapi badai global yang kembali menggulung.

Berita Lainnya