Sepak Bola | MAKRO EKONOMI | TEKNOLOGI | AI dan robot | Crypto | EDUKASI
Ekonomi Tumbuh, Tapi Kok Nggak Kerasa? Ini Penjelasannya!
Meski data ekonomi menunjukkan pertumbuhan positif, banyak masyarakat Indonesia masih merasa hidup makin sulit. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah pertumbuhan ekonomi cuma angka-angka di atas kertas?
EDUKASIMAKRO EKONOMI
4/20/20253 min read


1. Pertumbuhan Ekonomi: Fakta atau Fatamorgana?
Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang stabil dalam beberapa tahun terakhir. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,05% pada tahun 2024. Angka ini terbilang cukup solid di tengah perlambatan global dan ketidakpastian geopolitik dunia. Pemerintah pun optimistis bahwa arah ekonomi sudah benar dan terus membaik.
Namun, di sisi lain, banyak masyarakat merasa kondisi kehidupan tidak mengalami peningkatan signifikan. Harga kebutuhan pokok terus merangkak naik, pengangguran masih terasa, dan daya beli terasa melemah. Di media sosial, keluhan seperti “duit cepat habis padahal gaji tetap” atau “ekonomi katanya tumbuh, tapi makan siang aja mikir dua kali” makin sering muncul. Lantas, kenapa pertumbuhan ekonomi ini tidak ‘terasa’ di dompet rakyat?
Baca juga Kenapa Inflasi Bisa Bikin Harga Barang Naik? Ini Penjelasan Lengkapnya
2. Ketimpangan: Pertumbuhan yang Tidak Merata
Salah satu penjelasan utama adalah ketimpangan distribusi pertumbuhan ekonomi. Dalam teori ekonomi, pertumbuhan yang baik seharusnya inklusif — bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Namun realitanya, pertumbuhan di Indonesia seringkali terpusat di sektor-sektor tertentu seperti teknologi, infrastruktur, dan keuangan — yang sebagian besar dinikmati oleh kelas menengah atas atau kelompok dengan akses ke modal dan pendidikan tinggi.
Sementara itu, sektor informal yang menjadi tulang punggung mayoritas masyarakat — seperti UMKM, pedagang kecil, dan pekerja harian — belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi. Banyak dari mereka masih berkutat dengan utang, biaya operasional yang meningkat, hingga daya beli konsumen yang belum pulih sepenuhnya.
Baca juga Apa Hubungan Makroekonomi dan Investasi Kamu? Ini Dampaknya ke Portofolio dan Keputusan Finansial
3. Inflasi dan Kenaikan Harga yang Menggerus Pendapatan
Di tengah pertumbuhan ekonomi, Indonesia juga menghadapi tekanan inflasi yang cukup tinggi. Harga pangan seperti beras, cabai, minyak goreng, dan telur terus menunjukkan tren naik sejak awal 2024. Meski inflasi nasional masih berada dalam target pemerintah (sekitar 2,8%), angka ini tidak sepenuhnya mencerminkan realitas harga di pasar rakyat.
Bagi masyarakat kelas bawah dan menengah, porsi pengeluaran terbesar adalah untuk konsumsi harian. Ketika harga kebutuhan pokok naik, secara langsung mereka merasakan ‘penurunan pendapatan riil’ — alias uang yang sama nilainya jadi terasa lebih kecil.
Baca juga Tips dan Trik Mengatur Keuangan di Tahun 2025
4. Lapangan Kerja Banyak, Tapi Gaji Tak Naik-naik
Data BPS menunjukkan bahwa angka pengangguran terbuka menurun menjadi 5,3% pada akhir 2024. Tapi ada fakta yang perlu dikritisi: banyak pekerjaan yang tercipta adalah pekerjaan informal dengan upah rendah dan tanpa perlindungan jaminan sosial. Banyak lulusan perguruan tinggi terpaksa bekerja di luar bidangnya atau menerima pekerjaan dengan gaji di bawah harapan.
Selain itu, kenaikan gaji yang stagnan selama beberapa tahun terakhir membuat masyarakat sulit mengejar inflasi. Banyak pekerja yang merasa bahwa “hidup di Jakarta gaji 7 juta tetap nggak cukup”, atau di kota-kota lain, standar hidup makin mahal tanpa kenaikan penghasilan yang sepadan.
Baca juga 🧠 Apa Itu Resesi? Apakah Kita Harus Panik?
5. Konsentrasi Kekayaan dan Investasi Asing
Masuknya investasi asing memang mendorong pertumbuhan ekonomi. Tapi pertanyaannya: apakah masyarakat lokal ikut menikmati kue pembangunan ini? Di banyak kasus, proyek-proyek besar seperti smelter, jalan tol, dan industri manufaktur cenderung terkonsentrasi di wilayah tertentu dan tidak banyak menyerap tenaga kerja lokal. Bahkan, beberapa proyek justru menggusur lahan rakyat atau menyebabkan konflik agraria.
Selain itu, konsentrasi kekayaan masih sangat timpang. Laporan dari Credit Suisse menyebutkan bahwa 1% orang terkaya di Indonesia menguasai hampir setengah dari total kekayaan nasional. Artinya, meski ekonomi tumbuh, manfaatnya tidak menyebar merata.
Baca juga Peran Krusial Bank Sentral dalam Menjaga Denyut Ekonomi
6. Budaya Konsumerisme dan Gaya Hidup Sosial Media
Fenomena lain yang memperkuat kesenjangan antara "angka" dan "rasa" adalah gaya hidup masyarakat urban yang sangat terpengaruh media sosial. Tekanan untuk tampil ‘wah’ di tengah pendapatan yang stagnan membuat banyak orang terjebak dalam gaya hidup konsumtif dan utang konsumtif. Di sisi lain, keberhasilan ekonomi yang ditampilkan di media lebih banyak mencerminkan segelintir elite digital atau startup, bukan kondisi mayoritas.
Baca juga Defisit Anggaran Negara, Bahaya Nggak Ya?
7. Solusi: Pertumbuhan yang Lebih Inklusif dan Berkeadilan
Pemerintah perlu lebih fokus pada pertumbuhan yang berkualitas, bukan hanya kuantitas. Beberapa langkah yang bisa ditempuh antara lain:
Penguatan UMKM melalui akses permodalan, pelatihan digitalisasi, dan perlindungan pasar lokal dari dominasi pemain besar.
Reformasi sistem perpajakan agar lebih adil dan mampu mengurangi ketimpangan.
Distribusi pembangunan yang merata ke luar Jawa, agar tidak terjadi penumpukan kekayaan dan kesempatan di satu pulau saja.
Kebijakan pengendalian harga pangan yang tepat sasaran, termasuk optimalisasi Bulog dan subsidi untuk petani kecil.
Perluasan program jaminan sosial bagi pekerja informal, termasuk asuransi kesehatan dan pensiun.
Baca juga Rahasia di Balik Kemampuan AI Ngobrol Seperti Manusia
8. Kesimpulan: Pertumbuhan Ekonomi Harus Bisa Dirasakan Semua
Pertumbuhan ekonomi adalah hal penting, tapi itu baru langkah pertama. Yang jauh lebih penting adalah memastikan bahwa pertumbuhan itu terasa nyata bagi masyarakat luas — bukan hanya segelintir elite. Ketika ekonomi tumbuh tapi rakyat merasa tetap susah, maka saatnya kita bertanya: pertumbuhan itu untuk siapa?
Dan mungkin, seperti kata pepatah lama: “angka bisa bicara, tapi rasa di perut rakyat tak bisa dibohongi.”
Berita Lainnya
NuntiaNews
Informasi terbaru tentang Teknologi terbaru seperti AI, Crypto dan Robot, Makro Ekonomi serta Edukasi
HALAMAN
Analisis
© 2025 NuntiaNews. All rights reserved.