WTO Peringatkan Penurunan Perdagangan Global Akibat Tarif AS
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memperingatkan bahwa gelombang tarif baru dari Amerika Serikat dapat mendorong penurunan volume perdagangan global untuk pertama kalinya sejak krisis keuangan global 2008. Tarif tinggi yang dikenakan pada barang-barang dari China, Indonesia, dan negara-negara lain diperkirakan berdampak luas terhadap perekonomian dunia.
MAKRO EKONOMI


Pada 17 April 2025, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengeluarkan peringatan keras mengenai dampak kebijakan tarif Amerika Serikat yang diberlakukan sejak awal tahun 2025. Dalam laporan terbarunya, WTO memproyeksikan bahwa volume perdagangan global akan mengalami kontraksi sebesar 0,2% pada 2025—sebuah penurunan drastis dibandingkan proyeksi sebelumnya yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 2,7%.
Penyebab utamanya adalah gelombang kebijakan proteksionis yang kembali diterapkan oleh Presiden Donald Trump dalam masa jabatan keduanya, yang secara sepihak mengenakan tarif bea masuk terhadap barang-barang dari China, Meksiko, Indonesia, dan mitra dagang besar lainnya.
Baca juga Indonesia Dianggap Punya Ruang untuk Stimulus Fiskal dan Moneter di Tengah Ketidakpastian Global
Tarif Ekstrem dan Ketegangan Geopolitik
Tarif baru yang diberlakukan oleh Amerika Serikat sangat mencolok dalam skalanya. Barang-barang elektronik dan manufaktur dari China dikenai bea masuk sebesar 145%, sementara produk-produk tekstil, karet, dan logam dari Asia Tenggara terkena tarif antara 25% hingga 80%.
Kebijakan ini telah memicu ketegangan diplomatik antara Washington dan Beijing, serta negara-negara berkembang lain yang menjadi mitra dagang penting bagi AS. WTO mencatat bahwa ketegangan ini berisiko merusak tatanan perdagangan internasional yang telah dibangun selama puluhan tahun di bawah prinsip multilateralisme dan keterbukaan pasar.
Baca juga Konflik Dagang AS-Tiongkok Ganggu Perdagangan Senilai $582 Miliar
Prediksi WTO dan Dampak Makroekonomi
Dalam proyeksinya, WTO menyebutkan bahwa:
Volume perdagangan global akan turun 0,2% pada tahun 2025, dibandingkan dengan kenaikan 2,7% yang diperkirakan sebelumnya.
Perdagangan bilateral antara AS dan China diperkirakan akan menyusut lebih dari 91% jika tarif saat ini tidak dikurangi.
PDB global juga diprediksi melambat hingga di bawah 2,5%, yang secara teknis mendekati ambang resesi global.
Menurut Roberto Azevêdo, Direktur Jenderal WTO, "Perang dagang ini bukan hanya masalah bilateral. Ini adalah ancaman sistemik terhadap seluruh ekonomi global."
Baca juga Dampak Tarif AS terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Respons Negara-Negara Mitra Dagang
China telah menyatakan niat untuk membalas kebijakan AS dengan mengenakan tarif balasan terhadap produk-produk pertanian dan teknologi Amerika. Indonesia, sementara itu, memilih jalur diplomasi ekonomi dengan mengirimkan delegasi ke Washington untuk merundingkan penghapusan tarif atas produk manufakturnya.
India, Brasil, dan Uni Eropa juga telah meminta konsultasi resmi dengan Amerika Serikat melalui mekanisme penyelesaian sengketa WTO.
Baca juga Momen Krusial di Washington: Indonesia Mulai Negosiasi Intensif Hindari Tarif 32% AS Hari Ini
Efek ke Pasar Keuangan Global
Pasar saham global merespons kebijakan tarif AS dengan volatilitas tinggi:
Dow Jones Industrial Average turun 4% sejak awal April.
Shanghai Composite Index mencatat penurunan sebesar 6,5%.
Rupiah, Yuan, dan Peso mengalami tekanan akibat aliran modal yang keluar dari pasar negara berkembang.
Investor institusional cenderung menahan diri dari mengambil posisi besar karena ketidakpastian kebijakan, dan beberapa perusahaan mulai menerapkan strategi “bimodal forecasting” untuk skenario terbaik dan terburuk.
Baca juga Bank-Bank Raksasa AS Siap Rilis Laporan Keuangan: Pertanda Awal Resesi Semakin Nyata?
Peran Indonesia dalam Krisis Ini
Indonesia menjadi salah satu negara yang paling terdampak akibat ketergantungannya pada ekspor tekstil, komoditas, dan produk industri ringan ke AS. Kementerian Perdagangan memperkirakan potensi kerugian hingga USD 4 miliar dalam ekspor non-migas jika tarif tidak segera ditinjau ulang.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, "Kami sedang mengupayakan dialog strategis dengan pemerintahan AS untuk menemukan solusi saling menguntungkan. Indonesia terbuka untuk peningkatan kerja sama investasi dan perdagangan bilateral."
Kritik Terhadap Pendekatan Unilateral AS
Banyak ekonom global menyayangkan pendekatan unilateral yang kembali diterapkan oleh AS. Menurut laporan dari IMF, kebijakan tarif yang agresif berpotensi menciptakan "fragmentasi ekonomi global" di mana negara-negara mulai membentuk blok perdagangan sendiri, meninggalkan kerangka kerja multilateral yang selama ini menjadi fondasi ekonomi dunia.
Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi, menyebut tindakan AS sebagai "sabotase terhadap sistem ekonomi global yang saling terintegrasi."
Baca juga IMF Proyeksikan Pertumbuhan Ekonomi Global 3,3% pada 2025
Rekomendasi WTO dan Jalan ke Depan
WTO merekomendasikan langkah-langkah berikut untuk menstabilkan situasi:
Peninjauan kembali tarif secara bilateral antara AS dan mitra dagangnya melalui perundingan teknis.
Pemanfaatan mekanisme sengketa WTO agar permasalahan diselesaikan melalui hukum internasional, bukan konfrontasi politik.
Peningkatan kerja sama regional dan multilateral, seperti memperkuat ASEAN, APEC, dan RCEP sebagai penyeimbang ketidakpastian global.
Kesimpulan
Peringatan WTO adalah lonceng alarm bagi komunitas internasional bahwa pendekatan ekonomi yang terfragmentasi dan proteksionis dapat membawa dunia ke jurang resesi. Di tengah berbagai ketidakpastian, penting bagi negara-negara untuk tetap berpegang pada prinsip perdagangan yang adil, terbuka, dan berbasis aturan.
Kebijakan ekonomi satu negara kini memiliki implikasi yang jauh melampaui batas geografisnya. Dan jika konflik ini terus berlanjut tanpa penyelesaian yang inklusif, seluruh dunia akan menanggung akibatnya.