Peringatan Keras Jerome Powell: Tarif Trump Bisa Picu Inflasi dan Perlambatan Ekonomi AS
Ketua The Fed, Jerome Powell, memperingatkan bahwa kebijakan tarif impor Presiden Donald Trump berpotensi menyalakan bara inflasi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat. Dalam pidatonya yang sarat makna, Powell menyerukan kehati-hatian dan menegaskan bahwa The Fed tidak akan gegabah dalam merespons gejolak ekonomi ini.
MAKRO EKONOMI


Dalam salah satu pidato paling ditunggu tahun ini, Ketua Federal Reserve Jerome Powell menyampaikan peringatan yang tajam mengenai arah kebijakan ekonomi Amerika Serikat. Bertempat di Economic Club of Chicago, Powell menyoroti secara khusus dampak serius yang bisa ditimbulkan oleh tarif impor baru yang diberlakukan oleh Presiden Donald Trump.
Ia memperingatkan bahwa langkah-langkah proteksionis tersebut dapat memicu inflasi tinggi dan menghambat pertumbuhan ekonomi AS, bahkan ketika negara tersebut tengah berusaha keluar dari bayang-bayang ketidakpastian global dan tekanan geopolitik.
“Tarif adalah pajak atas konsumen domestik,” ujar Powell dalam pidatonya. “Ketika biaya impor naik, maka harga-harga barang kebutuhan akan ikut terdorong naik. Ini bukan teori semata—ini sudah terbukti dalam sejarah.”
Baca juga WTO Peringatkan Penurunan Perdagangan Global Akibat Tarif AS
Tarif Baru yang Agresif
Beberapa hari sebelumnya, pemerintahan Trump secara mengejutkan mengumumkan kebijakan tarif impor baru terhadap barang-barang asal Tiongkok, Meksiko, dan Uni Eropa. Beberapa produk strategis, mulai dari baja, aluminium, hingga komponen elektronik, kini dikenai tarif tambahan antara 15 hingga 35 persen. Kebijakan ini diklaim sebagai upaya untuk “melindungi pekerja Amerika” namun menuai kritik luas dari para ekonom dan pelaku pasar.
Pasar saham langsung bereaksi keras. Indeks Dow Jones merosot hampir 700 poin hanya dalam sehari setelah pengumuman tarif, S&P 500 kehilangan lebih dari 2%, dan Nasdaq anjlok lebih dari 3%.
Powell mencatat bahwa gejolak di pasar ini adalah refleksi dari meningkatnya kekhawatiran investor terhadap risiko ekonomi jangka pendek dan panjang.
Baca juga Dampak Tarif AS terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Inflasi: Hantu Lama yang Kembali?
Powell menekankan bahwa lonjakan harga akibat tarif berisiko menyulut kembali inflasi tinggi, sebuah tantangan yang sebelumnya telah diredam susah payah oleh The Fed selama dekade terakhir. Dalam skenario terburuk yang disimulasikan oleh tim ekonom The Fed, inflasi bisa melambung kembali ke angka 5% atau lebih dalam dua tahun ke depan jika tarif tetap dipertahankan tanpa penyesuaian.
Tak hanya itu, peningkatan inflasi juga dapat menggerus daya beli rumah tangga dan memperberat beban hidup masyarakat kelas menengah.
“Jika biaya hidup meningkat secara tiba-tiba, maka rumah tangga akan memangkas konsumsi. Ini bisa mendorong penurunan permintaan dan memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan,” ujar Powell.
Baca juga Kenapa Inflasi Bisa Bikin Harga Barang Naik? Ini Penjelasan Lengkapnya
Efek Samping di Dunia Kerja
Peningkatan harga bahan baku impor juga berpotensi menimbulkan efek domino di dunia usaha. Banyak industri manufaktur yang bergantung pada komponen asing kini harus menghadapi kenaikan biaya produksi. Hal ini bisa berdampak pada keputusan untuk merumahkan pekerja, memperlambat rekrutmen, atau bahkan menutup lini produksi tertentu.
Jeff Schmid, Presiden Federal Reserve Bank of Kansas City, yang turut hadir dalam forum tersebut, memperkuat pandangan Powell. Ia menyebut bahwa sektor pertanian dan manufaktur di Midwest telah menyuarakan kekhawatiran serius atas tarif yang dinilai “kontraproduktif”.
Baca juga Krisis Utang Global 2025: Negara Berkembang di Ujung Tanduk ?
The Fed Memilih Menunggu dan Mengamati
Di tengah ketidakpastian ini, Powell menegaskan bahwa The Fed tidak akan tergesa-gesa dalam merespons. Ia menyatakan bahwa perubahan suku bunga hanya akan dilakukan jika data menunjukkan sinyal kuat bahwa inflasi benar-benar keluar dari jalur atau bahwa pasar tenaga kerja menunjukkan tanda-tanda pelemahan akut.
“Kami tidak akan bermain-main dengan kebijakan moneter,” tegas Powell. “Tugas kami adalah menjaga stabilitas harga dan pekerjaan penuh. Itu mandat kami.”
Sikap wait-and-see ini sejalan dengan pendekatan The Fed dalam beberapa tahun terakhir yang mengedepankan data ketimbang tekanan politik atau retorika pasar.
Baca juga Ketegangan Ekonomi AS vs China dan Dampaknya terhadap Indonesia
Ketegangan Politik dan Independensi The Fed
Pernyataan Powell juga dibaca sebagai sinyal tegas kepada Gedung Putih bahwa The Fed akan tetap menjaga independensinya dalam merumuskan kebijakan. Dalam beberapa bulan terakhir, Presiden Trump diketahui secara terbuka mendesak The Fed untuk memangkas suku bunga dan bahkan mengancam akan mereformasi dewan gubernur jika “kebijakan tidak sesuai arah nasionalisme ekonomi”.
Powell tidak menanggapi langsung tekanan tersebut, namun pidatonya malam itu menegaskan satu hal: The Fed adalah lembaga independen dan akan bertindak berdasarkan prinsip, bukan tekanan politik.
“Kami mendengar semua pihak, tapi keputusan kami berdasarkan analisis dan mandat konstitusional, bukan desakan politis,” ujar Powell dengan mantap.
Baca juga Outlook Ekonomi Indonesia April 2025: Peluang dan Tantangan di Tengah Dinamika Global
Dampak Global: Risiko Spillover
Di luar Amerika Serikat, kebijakan tarif ini juga menimbulkan kekhawatiran di pasar global. Negara-negara mitra dagang utama seperti Tiongkok, Jerman, dan Meksiko mulai merespons dengan ancaman tarif balasan. Hal ini memicu kekhawatiran terjadinya perang dagang berskala penuh, seperti yang pernah terjadi pada periode 2018–2019.
Bank Sentral Eropa (ECB) dan Bank of Japan (BoJ) telah mengeluarkan pernyataan bahwa mereka akan “mengamati dengan seksama” perkembangan di AS dan siap mengambil langkah stabilisasi jika terjadi gangguan dalam arus perdagangan global.
Baca juga Qatar Siap Investasi US$2 Miliar ke Danantara Indonesia
Arah Ekonomi AS di Persimpangan Jalan
Pidato Powell menjadi pengingat keras bahwa ekonomi AS saat ini tengah berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada dorongan kuat untuk melindungi industri domestik dan menciptakan lapangan kerja melalui kebijakan tarif. Di sisi lain, realitas globalisasi dan integrasi rantai pasok membuat proteksionisme berisiko menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada manfaat jangka pendeknya.
The Fed, dalam hal ini, berperan sebagai penjaga terakhir kestabilan makroekonomi. Dan dengan sinyal kuat dari Powell, jelas bahwa lembaga ini siap bertindak jika gejolak ekonomi berlanjut.
Baca juga China dan Indonesia Perkuat Kemitraan Strategis di Tengah Ketegangan Global
Sebagai penutup, Powell menyampaikan kalimat yang kini ramai dikutip di berbagai media:
“Kita tidak bisa membangun tembok di sekeliling ekonomi kita dan berharap dunia tetap berjalan seperti biasa.”
—
Editor: Redaksi Ekonomi Global
Sumber: Federal Reserve, Reuters, Investopedia, Bloomberg